Menilik Repatriasi di Artwork Album ke-3 Korekayu, Verhaal
Korekayu by Prastiyo

Menilik Repatriasi di Artwork Album ke-3 Korekayu, Verhaal

Korekayu menjanjikan banyak hal dalam album baru diantar konsep visual yang menjalari kepahitan sekian dasawarsa.

Korekayu menjanjikan banyak hal dalam album baru diantar konsep visual yang menjalari kepahitan sekian dasawarsa.

Korekayu merilis album ke-3: “Verhaal” ke platform dengar digital 11 April 2025 mendatang. Mereka menjanjikan banyak hal dalam album berisi 12 lagu ini.

Album ini, tulis mereka via rilisan pers ke musikjogja.id, umpama perjalanan hidup sekaligus hasil eksplorasi mendalam kisah yang dialami atau disaksikan para personel. Penamaan “Verhaal” diambil dari kata dalam bahasa Belanda, yakni cerita atau narasi yang merujuk pada suatu rangkaian peristiwa, baik imajinatif maupun berdasar fakta.

Alfon Kriswandaru, Alvin Yudha, Bagas Raharjo, Bondan Jiwandana, Lukas Ingheneng, dan Yustinus Cahyadi, menuang hasil eksplorasi itu dalam 12 lagu yang ditatah sesuai karakter musik Korekayu. Dengan kata lain, mereka menjanjikan bahwa pendengar masih akan menikmati energi dan elegi Korekayu yang sama seperti sebelumnya.

Buat pendengar yang mengenal Korekayu lewat lagu-lagu melankolia, beberapa track dalam album ini sepertinya bakal mendebarkan. Premis dalam “Verhaal” sederhana. Bahwa kesedihan punya banyak wajah dengan bentuk perayaannya sendiri. Tentu saja setiap bentuknya akan berbeda dalam benak masing-masing pendengar.

Album ini bagi Korekayu adalah produk yang paling siap baik secara penulisan dan teknis. Mereka memasukan temuan, pengalaman, dan eksperimen anyar dari penjelajahan referensi dan teknis. Namun, lanjut mereka, album ini diciptakan dengan tidak kemrungsung, mengalir, dan tetap mempertahankan nuansa oldies-nya.

“Korekayu dalam 12 lagu di album ini agaknya mengingatkan bahwa tak segala hal harus berganti, tak semuanya harus berubah, dan tak semuanya harus menjadi baru,” kata Bondan dalam rilisan pers.

Yang jauh lebih menarik bagi saya adalah suguhan visual garapan Prastiyo Rakhmad.

Artwork Verhaal

Foto seorang laki-laki mengenakan busana mahasiswa Asia Timur yang mekar di pertengahan 40an—yang makin dipopulerkan Bruce Lee dalam “Green Hornet”—tengah menggali ingatan berlatar belakang ruangan di sebuah rumah lawas dipasang sebagai artwork.

Postur tubuh dan sudut dalam landskap yang barangkali mengalami penyuntingan komposisi itu menyerap judul, konsep, dan tema album secara keseluruhan. Menangkap konsep sekaligus judul “Verhaal”. Keputusan, tulis mereka, yang terinspirasi dari koneksi sejarah Indonesia-Belanda-Jepang yang pernah bersinggungan yang membentuk sebuah cerita.

Saya percaya sebuah foto adalah portal waktu. Demikian pula dengan konsep yang diusung Pras: membawa sejumlah peristiwa masa silam. Masa-masa di mana cinta kerap bersalin rupa menjadi tragedi karena politik. Karena gembar-gembor revolusi. Melankolia, yang barangkali sulit dimengerti dalam konteks kekinian.

Saya menangkap peristiwa Sinterklas Hitam dalam ingatan yang sedang laki-laki eja itu dalam gambar.

Desember 1957. Sukarno naik pitam. Belum ada resolusi untuk mengakhiri sengketa Irian Barat dengan Belanda. Sukarno melarang semua orang Belanda merayakan Dari mulutnya waktu itu keluar ultimatum agar semua orang Belanda merayakan pesta Sinterklas. Orang-orang Belanda diperintahkan harus angkat kaki secepatnya dari Indonesia.

Firman Lubis, dalam Jakarta 1950an: Kenangan Semaja Remaja, membeberkan meningkatnya sentimen anti-Belanda usai ultimatum itu di media dan coretan di dinding-dinding kota. Pada akhirnya ribuan orang Belanda angkat kaki dari Indonesia.

Para eks serdadu terpaksa meninggalkan kekasih mereka. Sebagian lagi, yang memilih bersama pasangannya ke Belanda, terpaksa berpisah dengan tanah air, dengan ibu, dan saudara.

Sebuah majalah lokal pernah menemukan kartu pos kiriman dari Belanda belasan tahun usai momen pengusiran itu. Kartu pos itu dikirim dari Amsterdam oleh seorang serdadu pada perempuannya—yang agaknya adalah anak dari pejabat di sebuah kota di Jawa Barat. Keduanya saling bertukar kabar, singkat, padat, tetapi menyimpan kepahitan sekaligus menggambarkan kemalangan.

Waktu memang sesuatu yang cenderung misterius. Mengandung banyak kemungkinan dan ketidakpastian. Mempertemukan kita dengan seseorang lantas memisahkannya lagi. Namun, waktu butuh waktu lama memamah ingatan. Perlu ribuan momen untuk memapah perasaan ke wadah baru.

Bagi sebagian orang, repatriasi serupa bunga api yang mekar di langit. Sebagian lagi memaknainya sebagai sepatah kata yang menceritakan satu dari sekian tragedi, utamanya bagi mereka yang saling menyukai lalu mencintai tetapi berbeda warna bola mata.

Politik memisahkan para kekasih. Para ibu dengan anak-anaknya. Sekali lagi, dengan tanah airnya. Dan rasa pahit yang dikulum sekian dasawarsa itu pernah diantar Wieteke van Dort dalam program talk show Tante Lien yang tayang di Belanda medio 70an. Wietke membayangkan Indonesia dan cintanya yang dipaksa patah di sana.

Ia menyanyikan ‘Halloe Bandoeng” yang dirilis Wili Derby tahun 1929. Ratapan seorang ibu terhadap anaknya di Hindia Belanda. Wietke, di kursi goyang, sedang mewakili mereka yang mengelilinginya di studio: anak-anak repatriasi.

Demikian koneksi yang saya tangkap via artwork album yang dikerjakan di Satrio Piningit dan Rockstar Studio itu. Artwork yang menangkap gambar buram sebuah masa itu: konfrontasi yang berakhir represi. Gaya yang kemudian diadopsi Orde Baru (Orba) sehingga melahirkan melankolia lain. Yang jauh lebih berdarah.