Syahdan, pernah ada sebuah rezim. Orde Baru (Orba) namanya. Pada mulanya Orba terbentuk dari pembengkokan tugas yang diperintahkan presiden lewat selembar surat—yang kini lenyap. Rezim itu ditopang kekuatan militer besar, dari laut sampai udara.
Ketika mahasiswa dikampuskan diikuti penyeragaman setiap gerak-gerik, perilaku, dan konsep berpikir jutaan orang di negeri ini, rezim ini tak lagi malu-malu menampakan kebengisan. Sebagian tercatat dalam sejarah sementara separuhnya dikubur ke inti bumi.
Orba adalah ide, yang menanamkan kisah-kisah mati. Menyajikan utopia, sebuah negeri abadi nan jaya dilindungi dewa dewi. Rezim berhala. Penyembah tokoh-tokoh. Arnold Mambesak sangat memahami itu dan agaknya pemahaman itu pula yang membuatnya dituduh makar, ditangkap, lalu ditembak di Pasir Enam.
Suatu ketika Orba runtuh. Orang-orang kuat di dalamnya pergi satu per satu. Militer dilucuti. Sipil mencoba mencuri keajaiban di masa goyah. Harganya mahal. Dibayar dengan nyawa dan tangis keluarga yang kehilangan. Negeri bernama Indonesia menemukan utopia lainnya: demokrasi tanpa senjata.

Namun, tatanannya tidak benar-benar rontok sehingga orang-orang kuat di zamannya kembali. Bikin partai politik. 28 tahun setelah keruntuhan, para aktivis yang berhutang janji pada keluarga kawan-kawannya yang hilang dan dibunuh memberi karpet merah pada kepulangan orang-orang tua.
Sehingga sistemnya diwariskan, ditarik ke banyak ruang, dipendarkan lewat produk politik bernama hukum lalu menyelinap ke kantung-kantung kebudayaan. Sejarah diletakkan pada bingkai kecil. Menjadi catatan biografi. Pencapaian orang-orang besar dan sekadar awal muasal, bukan ihwal.
Warisan teratas adalah trauma. Sehingga, chaos harus diredam dengan segala cara, dengan atau tanpa mengotori tangan mereka. Cara terabsurd adalah pelupaan dengan menggiring setiap orang terpenjara dalam layar-layar kaca. Generasi baru didorong menguasai ruang dan waktu. Dipaksa menerima pemahaman bahwa satu-satunya kebenaran ditentukan dari nilai tukar. Keperluan dan keinginan.
Memang masih ada perlawanan-perlawanan yang melahirkan kemenangan kecil. Masih banyak seniman berupaya melawan lupa. Itu juga berkah demokrasi dan berkat layar-layar kaca. Namun, di tengah keriuhan itu, di dalam lorong yang diterangi sedikit cahaya, sekelompok pasukan bersenjata mengintai, menunggu waktu menyerbu, mengantar masa depan menakutkan.
*Tulisan ini merupakan interpretasi terhadap trilogi menolak lupa: Pterodactyl, Alerta, Orbamecium Rhizopora Akadama & The Yoyo Connection
Leave a Reply