Danger Stranger: Sedikit tentang Supergrup dan Nimfomania
Foto: Bayu Atha @stagedoc)

Danger Stranger: Sedikit tentang Supergrup dan Nimfomania

Kata ‘super’ dalam kepala mereka bukan merujuk pada yang terbaik atau teratas. Bukan soal klasemen atau ukuran

Kata ‘super’ dalam kepala mereka bukan merujuk pada yang terbaik atau teratas. Bukan soal klasemen atau ukuran

Super band atau supergrup kerap didefinisikan sebagai kolektif berisi personel dengan skill mengagumkan plus rekam jejak panjang di dunia musik. Dalam konteks industri musik sebutan ini populer di awal 60an ketika Bob Gaudio membuat The 4 Seasons bersama Frankie Valli, Tommy de Vito, dan Charles Calello.

Streampacket, Cream, Cactus, Yellow Magic Orchestra, Temple of The Dog, Ima Robot, Audioslave, sampai Chickenfoot mempertebal istilah itu bagi media. Di Indonesia ada Ternchem, Swami, Kantata Takwa, Evo, hingga Halfmath. Di luar konteks industri yang mengedepankan nilai tukar, malah jauh lebih banyak.

“Kami supergrup tetapi nggak memakai fondasi itu atau term itu sepenuhnya. Danger Stranger ini super grup karena tiap personelnya punya banyak band. Bukan personel yang skill-nya wediaaaaan atau apa. Sesimpel itu saja sih,” kata Tomo Widayat, gitaris Danger Stranger

Jawaban itu membuka talk show screening video musik ‘Nimfomania’ Danger Stranger di Journey Coffee & Records Rabu (26/2/2025) malam. Diskusi melebar ke ekspresi musik masing-masing personel. Tomo Widayat (gitar), Rahadhita Arumtaka (kibor), Bagoes Kresnawan (drum), Fendee Perdana (gitar), Agib Tanjung (bass), dan Tommy Dharma (vokal) mengusung hard rock 80-90an. Menggabungkan tone masing-masing personel yang terbentuk dari latar belakang musik berbeda.

“Saya paling berbeda dari personel yang lain karena referensi dan band saya yang lain tidak sekeras ini musiknya. Tomo yang meyakinkan bahwa karakter vokal saya cocok. Dan ternyata iya juga sih,” sambung Tommy.

Para personel Danger Stranger sudah puluhan tahun bermusik. Mereka makin dimudahkan teknologi dalam membangun aransemen lewat elemen-elemen yang menuju era 80 dan 90an itu terutama untuk lagu ‘Nimfomania’. Dari sana muncul pertanyaan lain. Teknologi memungkinkan setiap personel, terutama Tomo, untuk membikin musik sendiri. Tinggal ‘gambar’ di komputer, selesai perkara.

“Sekarang memang semudah itu tetapi saya dan kawan-kawan yakin bahwa nggak ada yang bisa menggantikan tone manusia. Ini salah satu cara untuk terus merawat kesukaan kami: bermusik,” sambung Tomo.

Agaknya dari sana definisi supergrup itu lahir. Dari kerelaan masing-masing personel untuk menanggalkan sedikit kebiasaan bermusik yang dibangun dalam waktu yang tidak sedikit demi kolektif bernama Danger Stranger. Tiap personel menaruh hati mereka dengan cara terbaik ke bunyi dan visual.

Kata ‘super’ dalam kepala mereka bukan merujuk pada yang terbaik atau teratas. Bukan soal klasemen atau ukuran. Super adalah kerelaan untuk melebur menjadi satu. Sesuai kebutuhan. Sikap yang dalam realita kekinian masih akrab tetapi sulit dikenali.

“Kami sangat serius dengan band ini—Ale Prodvokaif bertanya skala prioritas masing-masing personel. Hanya Agib Tanjung yang memberi skala 9,5 sementara personel lain 10 hahaha—sehingga setiap karya benar-benar kami bangun dengan kuat termasuk visual,” kata Bagoes.

Video musik dan lirik pun diluncurkan. Bukti keseriusan mereka. Video musik diarahkan sendiri oleh Bagoes Kresnawan lalu dirilis di bawah bendera Gelora Abadi Sentosa (GAS) ke saluran Youtube Tancap Gas Records. Lagu ‘Nimfomania’ direkam di Neverland Studio dan Kebontomo Studio. Proses mixing-mastering dikerjakan Tutoet Daru (Roket) di SMPLN Studio. Untuk artwork lagu ‘Nimfomania’ digarap oleh Satriya Anggun (Tembang Gula).