Lagu Cinta Orde Baru: Dari Lagu Cengeng ke Uang Palsu
Daniel Nainggolan (kiri), Gandhi (Tengah), dan Desta Wasesa (Foto: Freddy)

Lagu Cinta Orde Baru: Dari Lagu Cengeng ke Uang Palsu

Kolektif Filosotoy dan Musikjogja.id (@musikjogja) berkolaborasi dalam perayaan Sewulan 2 di Teko Su Jumat (29/11/2024) petang hingga malam. Mereka membabar talk show bertajuk “Lagu Cinta Orde Baru” menyambung diskusi Filosotoy pekan sebelumnya yang membincang cinta di tempat yang sama.

Gandhi Baju mewakili Filosotoy dalam talk show. Dimoderatori Daniel Nainggolan (konseptor event, musisi) ia memapar sejumlah temuan saat meriset banyak lagu di era Orba, zaman represif yang dikendalikan kekuatan-kekuatan besar yang telanjang di depan layar.

Salah satunya sebagian lagu cinta di zaman Orba dipengaruhi tafsir liar pemerintah terhadap situasi sosial dan politik. Betharia Sonata yang merilis ‘Hati yang Luka’ Januari 1988 merasakan keliaran tafsir yang membunuh kariernya.

‘Hati yang Luka’ bertema kekerasan dalam rumah tangga. Bercerita tentang suami yang suka menempeleng istri. Larik reffrainnya begini: Pulangkan saja aku pada ibuku atau ayahku…

“Lalu diberedel sama Menteri Penerangan. Alasannya karena lagu cengeng semacam itu tidak mencerminkan semangat pembangunan nasional. Tidak boleh ada lagu cinta cengeng seperti mood dalam ‘Hati yang Luka’,” kata Gandhi.

Pembredelan bukan sekadar bukti represifnya Orba tetapi cermin bahwa rezim yang berkuasa selama 32 tahun itu takut dengan ketidakteraturan. Desta Wasesa, dari musikjogja, menjabarkan alasan ketakutan itu. Menurut Desta, Orba punya narasi padat tentang rumah tangga. Di luar rumah tangga yang ideal lewat Keluarga Berencana (KB), Orba juga mengatur perilaku sampai aktivitas perempuan Indonesia dalam Garis-Garis Besar Halauan Negara (GBHN).

“Kemudian dari GBHN, Departemen Dalam Negeri membuat penafsiran panjangnya. Ada lima poin tugas perempuan. Poin pertama sangat banal,” sambung Desta.

Poin pertama, perempuan didefiniskan sebagai pasangan yang tergantung pada suami. Dengan kata lain harus tunduk pada suami. Kedua, perempuan sebagai pembentuk bangsa. Ketiga, perempuan adalah ibu dan pendidik anak. Keempat, perempuan dipersiapkan untuk ibu rumah tangga dan hanya mencari nafkah tambahan. Terakhir, perempuan dilihat sebagai bagian dari masyarakat.

“Dengan kata lain, lagu Betharia Sonata seperti antitesis terhadap poin satu itu terutama reffrainnya,” duga Desta.

Lagu Betharia Sonata memang menangkup banyak peristiwa kekerasan dalam rumah tangga saat itu. Harmoko, Menteri Penerangan, segera melarang lagu itu diputar di medium mana pun. Lagu itu menurutnya tidak mencerminkan realita sebenarnya dari masyarakat. Bahkan, di mata Harmoko, lagu-lagu cengeng dituduh menghambat pembangunan nasional dan semangat bekerja rakyat.

“Artinya, mereka takut masyarakat, perempuan terutama, tidak tunduk pada penafsiran panjang sekaligus narasi dari Departemen Dalam Negeri,” tambah Desta.

Talk show ini menarik banyak anak nongkrong di Teko Su. Dari yang awalnya sedang berkutat dengan tugas di depan perangkat sampai mereka yang berkencan turut menyimak diskusi lalu melontarkan banyak pertanyaan. Salah satu pertanyaan adalah lagu-lagu cinta Iwan Fals.

Jeko, drummer Saint Jimmy dan Gremory X yang ikut berpendapat (Foto: Freddy)

Iwan Fals, katanya, musisi yang dikenal mulai membuat lagu cinta tahun 2000an bersama Pongky Barata dan kawan-kawan. Di era Orba, ia melihat Iwan adalah salah satu poros perlawanan terhadap Suharto dan kroni-kroninya. Pendapat itu dibenarkan tetapi pada kenyataannya Iwan Fals dan para musisi lain punya banyak lagu cinta di era Orba.

“Yang menarik adalah ada beberapa lagu cinta Iwan Fals yang juga menyelipkan realita pada saat itu. Ini di luar ‘Bento’ dan lagu-lagu populer yang sering membakar aksi,” jelas Gandhi.

‘Kembang Pete’ satu dari banyak lagu Iwan Fals yang menyelinapkan realita. Lagu itu terdapat dalam album “Kelompok Penyanyi Jalanan’ yang rilis 1985, tiga tahun sebelum pemberedelan lagu-lagu cengeng.

Bait awalnya begini: Kuberikan padamu setangkai kembang pete/Tanda cinta abadi namun kere/Buang jauh-jauh impian mulukmu/Sebab kita nggak boleh bikin uang palsu. Kalau di antara kita jatuh sakit/Lebih baik tak usah ke dokter/Sebab ongkos dokter di sini/Terkait di awan tinggi.

Memang lagu-lagu cinta Iwan—dalam konteks saat itu—tidak sepuitik Eros Djarot dalam ‘Badai Pasti Berlalu’. Namun, ‘Kembang Pete’ memuat pernyataan tegas bahwa orang pinggiran yang dimiskinkan, yang tidak boleh naik kelas di zaman Orba, juga mengalami percintaan, berhak jatuh cinta sekali pun lebih akrobatik.

“Ada dua sindirian, atau mungkin kritik dari larik itu. Pertama soal uang palsu. Kedua, mahalnya ongkos berobat ke dokter. Di sisi lain, buat saya ‘Kembang Pete’ lagu romantis sepanjang masa,” kata Desta.

Foto bareng usai talk show (Foto: Freddy)

Soal yang pertama, uang palsu. Tahun 1970an marak beredar uang palsu di Jakarta dan sekitarnya. Suharto memberi perhatian khusus. Namun, Suharto tidak menggunakan cara keras menyudahi fenomena ini. Berbeda dengan penananganan-penanganan lainya.

Ia hanya menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1971 menginstruksikan pemberantasan uang palsu. Suharto menganggap peredaran uang palsu dapat mengganggu stabilitas moneter negara, bukan persolan hukum an sich.

Alasannya terjawab dalam ‘Counterfeit Money, Who Takes The Hit’ Williams Hummel. Berdearnya uang palsung membikin nilai mata uang merosot di pasar internasional karena ketidakpercayaan terhadap nilai mata uang dan berkurangnya nilai uang yang asli. Pemerintah hanya dapat melakukan tindak preventif dalam mencegahnya. Dengan kata lain hati-hati.

“Situasi ini melahirkan banyak dugaan saat itu bahwa yang bisa cetak uang palsu ya para elite, orang-orang kaya dan Iwan menangkap keributan itu dalam lariknya,” sambung Desta.

Orba,lewat Inpres Dokter menyediakan fasilitas kesehatan seperti rumah sakit dan puskesmas. Namun, layanan milik pemerintah tersebut tidak gratis. Sekadar konsultasi pun bayar apalagi mereka yang sakit berat. Bayar dahulu baru ditangani. Uang dahulu baru nyawa.

“Itulah, di lagu-lagu cinta, meski tidak semua, kita menemukan realita yang mungkin hingga hari ini bisa saja masih relevan atau asing sama sekali,” pungas Gandhi.