First of all (NB: skor toefl = 120), selamat kepada musikjogja, pagi ini, sembari ngising lan scrolling hape, aku baru tahu kalau mereka sudah punya website yang ciamik. Dan rasanya aku akan sangat berdosa jika ndak ikutan mengirimkan tulisan untuk sekadar mengotori dapur redaksinya
Karena musik dan karena Jogja, ini adalah ceritaku tentang musik di Jogja. Dari sudut pandang yang sangat personal dan besar harapanku tulisan ini banyak tidak disetujui oleh para pembaca sehingga memantik diskusi di warmindo dan angkringan terdekat.
Gue lahir dan besar di Jogja, baru tiga tahun terakhir terpaksa merantau keluar dari nyamnyamnya Jogja. Sebagai perantau pemula, masih sering terbersit perbandingan-perbandingan antara kota asal dengan domisili. Dari makanan, budaya, sampai musiknya.
Setiap tempat punya getaran dan frekuensi yang beda-beda. Bagaimana dengan Jogja?

Aku dan dua temanku ketika masih kelas 5 SD melompati pagar SMA N 1 Yogyakarta agar bisa nonton Shaggydog persis dari samping panggung. “Pak, Shaggydog sudah main?” tanyaku. “Belum.” jawab seorang bapak di pinggir panggung–yang belakangan kami baru tahu bahwa dia alm. Bens Leo.
Petualangan musik hadir dari ruang terdekat pada masa itu. Band-band lokal adalah pahlawan kami. Mungkin juga karena akses informasi yang belum semudah sekarang untuk menjadi masyarakat global, sebab mulai tahun 2000an, aku gandrung dengan Arctic Monkeys yang saya dengar dari Sheffield UK, tapi punten saya ndak tahu kemantren-nya apa.
Sedikit loncat, aku izin pake tahapan sekolah formal ya. Waktu SMP aku mulai berkelana. Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY), sewaktu rutin digelar di Benteng Vredeburg, adalah masa-masa pencarian musikalku. Datang malam ini, disuguhi Death Vomit. Besoknya datang ada band melayu. Lusa hari aku datang, melihat orang memotong-motong semangka, mementaskannya di panggung musik, bukan di toko buah.
Loncat lagi ke belakang, masa-masa SD diwarnai resital musik klasik. Sebagai pementas dan penonton. Musik klasik yang akhirnya setelah sekian lama aku baru tahu bahwa nama-nama seperti Fernando Sor, F. Tarrega, dan Andrew York bukan orang Jogja. Alamak.
Tambah tuwo, nemu pementasan akhir mahasiswa ISI yang aneh-aneh. Ada juga pementasan musik eksperimental, dan sebagainya. Apakah Jogja se-nerimo itu dengan musik? Sebuah kota yang merupakan prasmanan bagi pendengar musik; warung makan rames musik.
Dengan tulisan ini, aku tidak sedang menasbihkan diri sebagai si paling musik. Sebab dengan bersyukurnya aku yang lahir besar di Jogja–dan masih sering pulang– dihadapkan dengan banyak referensi musik yang maha luas.
Meski akhirnya komunitasnya terkotak-kotak, namun frekuensi bunyinya tak bisa ditolak. Datanglah ke Jogja dan rasakan bingungnya memilih musik yang mau didengar. Sampai-sampai suara drum band gaib saja tidak mau kalah masuk dalam billboard chart Jogja.
Namun, mungkin, pada akhirnya, seiring bertambahnya usia, aku cenderung memilih musik yang jarang dibicarakan dan didengarkan tetapi terhampar luas di Jogja. Semakin dekat dengan usia kenabian musik paling nyaman adalah: doa dan kesunyian.
Nihan Lanisy aka Jono Terbakar
Leave a Reply