Saya tidak tahu persis isi kepala Morisco ketika merespon arahan Aziz Akbari dan Zuhriel Delpiero untuk menggambarkan tema lagu ‘Diana’ secara jernih dalam video lirik yang ditatah banyak tanda itu.
Morisco menaiki kora-kora di pasar malam. Barangkali tanda bahwa cinta adalah sesuatu yang berbahaya. Ia membawa kebahagiaan, menempatkan orang-orang dalam situasi berbahaya, bahkan dalam hitungan detik membuat orang terpanggang tinggal rangka.
Selanjutnya jas dan bunga yang ia pegang erat-erat. Barangkali tanda bahwa tidak setiap percintaan berpindah ke kertas nota. Dan ketika momen ganjil itu terjadi, yang tersisa hanya sepi. Waktu berhenti sehingga suara orang-orang di pasar malam menyayup lalu tak terdengar lagi.
Ekspresi Morisco mengingatkan akan banyak kisah-kisah muram. Barangkali ia membayangkan cinta pertamanya yang kini entah. Bisa juga berupaya sekuat tenaga mendatangkan fragmen ringkas masa silam yang mendatangkan perih, rasa sakit seperti kulit ari yang dikelupasi pisau apel. Apa pun itu yang dipersembahkan Gluten Free Bible Study ‘Diana’ dalam video lirik ini cukup kuat.
Andai tidak ada video lirik, buat saya, larik ‘does goes by still i want you/why cant i scream i love you—yang diganggu tata suara bass itu—bakal biasa saja. Setingkat protes seseorang yang ditinggalkan kekasihnya. Namun, ketika GFBS melengkapinya dengan visual, larik itu mendatangkan imajinasi yang cukup perih.
Komponen visual plus larik itu membawa saya ingat pada roman bombastis novel klasik Gabriel Garcia Marquez, Love in the Time of Cholera.
Di bawah langit gelap, orang-orang tercinta dan teman Juvenal Urbino berkumpul. Wajah mereka menampakan duka yang mendalam. Wajah-wajah yang kian sungkawa ketika melihat peti mati Urbino, sang dokter kaya yang suka menolong itu memasuki peristirahatan barunya.
Di tengah kerumunan dan dalam momen maha penting dalam upacara kematian itu, Fermina, seorang perempuan yang baru saja menjanda, tak bisa menyembunyikan kesedihan. Kepalanya disesaki ribuan ingatan suaminya. Adegan demi adegan makin memberinya pemahaman betapa menyakitkannya kehilangan.
Tepat ketika pelayat meninggalkan pemakaman, seorang kakek berusia 70 tahunan mendekatinya. Fermina, katanya, aku telah menantikan kesempatan ini selama lebih dari setengah abad, untuk mengulangi padamu sekali lagi sumpahku akan kesetiaan yang sempurna dan cinta yang abadi.
Dialah Florentino Ariza. Seseorang dari masa lalu yang membakar gairah remaja Fermina. Seseorang yang mengantarkan gelora lewat surat-surat yang dibaca secara sembunyi-sembunyi. Florentino tak bisa lagi menunggu lebih lama. 53 tahun 7 bulan baginya sudah lebih dari cukup memancang kesumat. Selama itu pula ia mengalami penderitaan tanpa tanding, tiada banding.
Ketika Fermina menjadi perempuan dewasa yang logis lalu bertemu lantas menikah dengan Urbino, perasaan Florentino Ariza tidak berubah sedikit pun. Cintanya tak pernah berlumut. Memang ia sempat marah lalu berupaya menghancurkan perasaan itu dengan tidur dengan banyak perempuan—kalau tidak salah sampai 622–tetapi ia seperti manusia tak bernyawa. Hampa.
Fermina mengusirnya. Sikap Florentino keterlaluan. Kurang ajar. Namun, Florentino sudah kepalang basah. Sebentar lagi ia akan mati. Namun, ia tak mau lagi mengalah pada nasib. Ia ingin mati di samping Fermina. Ia tak keberatan sekali pun menjalani cinta yang renta. Yang semenjana. Satu jam, satu menit, satu detik, tak peduli. Asal bisa menerikakan perasaannya pada Fermina, baginya itu sudah lebih dari cukup.
Sebab tak ada cinta yang sama. Seperti sejarah, tidak ada yang bisa terulang kembali kecuali kontinyuitas yang harus dihadapi dengan rendah hati.
Desta Wasesa
Leave a Reply