Ketika Anak Band Dilarang Gondrong Dihadang Celurit
Arsip perpustakaan nasional

Ketika Anak Band Dilarang Gondrong Dihadang Celurit

Artis, musisi, seniman, berambut gondrong diseleksi di televisi. Sering waktu, larangan itu menyebar ke RT/RW kampung, kampus, dan sekolah lantas terbentuklah Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong (Bakorperagon). Mereka yang tertangkap langsung disikat di tempat.

Artis, musisi, seniman, berambut gondrong diseleksi di televisi. Sering waktu, larangan itu menyebar ke RT/RW kampung, kampus, dan sekolah lantas terbentuklah Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong (Bakorperagon). Mereka yang tertangkap langsung disikat di tempat.

Dengerin Bareng-bareng (Debarbar) edisi khusus Agustus 2024 lalu menghadirkan Something Wrong. Band Hardcore Jogja itu berbagi cerita 27 tahun perjalanan skena musik Indonesia ke hadapan kawan-kawan yang datang. Pertemuan hangat antargenerasi itu dilanjutkan sesi dengar album terbaru “Reignite”yang mereka rilis di pekan yang sama.

Buat saya, talk show itu adalah kesempatan emas. Tanya-tanya soal skena musik cadas di Jogja, terutama setelah Harmoko memberedel media dan komunitas menayangkan atau membawakan musik-musik cengeng. Situasi ‘musikal’ anak-anak band Jogja sebelum Suharto tumbang.

Data saya sangat sedikit tentang skena musik cadas di Jogja sebelum reformasi. Paling dari cerita mamah pertengahan tahun 80an ketika dia dan teman-teman jadi korban pemberedelan. Dari cerita Mas Indra Menus soal gigs Punk, Metal, dan musik-musik yang dikategorikan sebagai underground ditambah kisah Heruwa Shaggydog.

Mas Heru, ketika saya mengantarkan kawan-kawang magang Universitas Amikom wawancara ke Doggy House sempat cerita tentang sekelompok orang yang menempati bangunan tak berpenghuni di sekitaran kota. Mereka nongkrong, bikin acara, sampai tidur di sana. Mumpung Mas Sutik Something Wrong di depan mata, saya nggak mau melepaskan kesempatan memperbanyak data. Siapa tahu kisah-kisah itu bisa jadi buku sendiri. Klangenan.

Sutik menanggapi pertanyaan dengan menggambarkan teror militeristik di Jogja. Nggak cuma lewat ancaman kekerasan fisik, teror itu mencekik anak-anak muda melalui tasir nilai-nilai moral yang dikaitkan dengan Pancasila. Berbeda dianggap subversif, penjahat, sampah masyarakat.

Contohnya fashion. Orang baik atau tidak, saat itu dan terutama laki-lai bisa dilihat dari seberapa panjang rambut mereka. Sialnya, banyak anak-anak musik Metal dan sejenisnya berambut gondrong. Orde Baru (Orba) melihat gaya rambut ini sebagai ancaman yang akan merusak nilai-nilai Pancasila dan semangat pembangunan nasional.

Haram, halal, dan makruhnya rambut ini mungkin mulai dipersoalkan tahun 1966. Tujuh tahun kemudian, tepatnya ketika militer mulai mencium aroma gerakan mahasiswa, Soemitro, Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertibanm, tiba-tiba menyinggung anak-anak muda berambut gombrong dalam sebuah talk show di televisi. Dia, dengan rasa cinta tanah air dan negara yang tdak bisa dimengerti, bilang, bahwa mereka yang berambut godrong bersikap onverschillig atau cuek sama negara.

Arsip perpustakaan nasional

Artis, musisi, seniman, berambut gondrong diseleksi di televisi. Sering waktu, larangan itu menyebar ke RT/RW kampung, kampus, dan sekolah lantas terbentuklah Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong (Bakorperagon). Mereka yang tertangkap langsung disikat di tempat.

Bakorperagon melunak tahun 90an. Mungkin udah capek, gondrong, dengan makin derasnya keran budaya Amerika, termasuk musik, jadi budaya populer. Gaya massa. Namun, seperti yang kita tahu, Orba adalah rezim satu juta trik. Daripada militer mengurus gaya berpakaian dan model rambut, mendinga dibenturkan saja dengan masyarakat sipil.

Jogja pecah tahun segitu. Sutik ingat betul malam jahanam itu. Ketika sedang asyik nongkrong di Malioboro, Sutik dan komplotan tiba-tiba kena sweeping Ormas yang membekali kelompok dengan senjata tajam. Helm seorang kawan, diketok-ketok dengan celurit tajam. Teror.

https://www.instagram.com/reel/C-PlVrgyUkY/?igsh=b2UxZDZsbjZldmVn

Ormas-ormas keagamaan di pertengahan tahun 90an juga sering meneror gigs underground. Para pengkhotbah datang. Menuduh mereka satanis dan yang paling ngehe adalah menuntut gigs dibubarkan. Saya yakin tindakan-tindakan itu mencontek gerakan khotbah keagamaan terhadap musik cadas Amerika dan Inggris pertengahan hingga akhir 80an.

Musisi Jogja, terutama underground, tahun 80 sampai reformasi menghadapi banyak persoalan yang diproduksi rezim Orba. Mereka dibenturkan nilai-nilai, dari lingkungan terdekat dalam keluarga sampai sosial. Zaman susah, kata Sutik, karena yang mereka lawan juga ingatan. Salah satunya memori akan Penembakan Misterius (Petrus) terpampang habis-habisan di surat kabar. Dan Sutik tidak sanggup melanjutkan ceritanya.

Yang pokok buat saya adalah segala daya dan upaya dalam melintasi tantangan itu. Termasuk di zaman sekarang, ketika dinding-dinding baru berlumur akar muncul meriutkan nalar.

Desta Wasesa