Skena Musik, Skena Ramal: Menilik Gigs Satu Tahun Pasca Pandemi
Foto: @Prastiyors

Skena Musik, Skena Ramal: Menilik Gigs Satu Tahun Pasca Pandemi

Aktivitas pokok makhluk hidup, wabil khusus manusia selain makan, minum, berak, kencing, tidur, dan seks adalah meramal. Kegiatan itu nggak hanya dipunya orang-orang sakti macam Jayabaya yang ramalan Ratu Adil-nya banyak digunakan untuk dalih perang. Semua manusia adalah peramal dan hampir tiap hari melakukannya.

Aktivitas pokok makhluk hidup, wabil khusus manusia selain makan, minum, berak, kencing, tidur, dan seks adalah meramal. Kegiatan itu nggak hanya dipunya orang-orang sakti macam Jayabaya yang ramalan Ratu Adil-nya banyak digunakan untuk dalih perang. Semua manusia adalah peramal dan hampir tiap hari melakukannya.

Dalam perjalanan, kita meramal. Memperkirakan waktu sampai ke tujuan. Dengan melihat line up gim tim satu jam sebelum pertandingan, pecinta sepakbola meramal. Ramalan kerap berubah menjadi keyakinan lalu dipertaruhkan.

Koletif musik, komunitas, musisi, dan penikmat gigs adalah ahli ramal, terutama ketika bikin gigs. Kick off di poster kerap ditulis lebih awal dari rencana agar di waktu yang ditentukan tempat sudah terisi’. Sayangnya penikmat gigs tak mau kalah meramal.

Tentu kita tidak asing dengan kalimat macam ini: ‘Ah jam tujuh, paling mulainya setengah delapan atau jam delapan. Santai ja’. Saya pernah menemukan beberapa band yang malas membuka gigs karena stage masih sepi. Di sisi lain, saya juga sering menemukan keluhan di tengah penonton, ‘Yaaah kok band ini sudah tampil. Nggak ada kabar-kabar. Tepat waktu banget sih,’ begitu keluh mereka. Ya salah sendiri ramalannya meleset.

Meramal memang sudah jadi kebiasaan tiap orang di muka bumi ini. Dan meramal juga tidak salah karena kenal aktivitas itu sejak dalam kandungan.

Akhir tahun 2021, gigs menemukan bentuk lain. Angka Covid-19 menurun (atau mungkin diturunkan nggak tahu deh). Pegiat musik di Jogja bersorak. Sudah lama dipaksa tiarap di pengapnya kamar, nggak tostosan gelas sambil menonton musik. Melonggarnya pengawasan ‘Sauron’ (nonton deh Lord Of The Rings) melahirkan keberanian kawan-kawan untuk bikin gigs. Masih sulitnya mengakses ruang publik melahirkan kolaborasi baru nan menyenangkan dengan cafe atau warung kopi yang nyaris roboh dihantam pandemi.

Hampir tiap hari ada gigs, dari Pop, Metal, sampai eksperimental. Luar biasa, jam tujuh di poster, jam tujuh pula pertunjukkan mulai dan penonton sudah berbaris sambil cangkeman. Pandemi mengubah mereka menjadi peramal ulung! Muncul juga gigs ticketing—sesuatu yang sepuluh tahun terakhir sangat sulit dilakukan—dan nggak ada yang keberatan.

Banyaknya gigs pelepas rindu di akhir tahun itu melahirkan estetika baru. Penonton gigs kerap dandan maksimal. Rata-rata pakai baju band, entah lokal sampai luar negeri, ditambah celana dan outer keren. Mungkin karena gigs juga jadi ajang unjuk memamerkan gaya berbusana.

Saya pernah dikira juru parkir saat mengeluarkan motor dari parkiran di sebuah gigs oleh oknum (bahasa Orba) penonton karena tidak pakai baju band. Nggak ada yang salah sih karena mau memakai baju atau busana apapun adalah hak asasi—apakah ada yang kena disonansi kognitif atau tidak itu hal lain yang harus dibuktikan secara akademis. Ada pula penonton yang ingin menyampaikan ekspresi yang sayangnya tak terkontrol karena kebanyakan alkohol lalu menari sesuka hati tanpa melihat tempat.

Di luar ramalan dan sejumlah peristiwa budaya akhir tahun—sekarang banyak ramalan yang meleset lagi deh—saya percaya bahwa gigs adalah sepenggal cerita bagaimana kolektif, komunitas, musisi, pegiat, pendengar, dan orang-orang yang beririsan dengan musik bahu membahu menjaga predikat tempat mereka tumbuh lalu berkembang sekaligus memperpanjang napas perkawanan.

Namun suka tidak suka, kita hidup di masa ketika kehidupan nyaris dipampas teknologi. Masa di mana teknologi adalah suatu hal yang paradoks: mendekatkan manusia dari berbagai tempat yang berbeda tetapi di pihak lain menyulitkan orang untuk keluar dari zona nyaman atau sirkelnya karena kebutuhan akan imajinasi telah dipenuhi teknologi.

Masa silam mustahil sama persis dengan masa kini. Sejarah tidak mungkin berulang dengan peristiwa yang sama persis 100 persen. Yang ada hanya kontinyuitas persoalan-persoalan masa lampau yang juga ditemui hari ini. Gigs memang berubah bentuk sesuai daya dan gaya anak-anak muda yang memegang kendali zaman. Namun masih ada kontinyuitas yang barangkali bisa disikapi dengan rendah hati.

Desta Wasesa