Dalam konteks musik, banyak yang bilang kalau Jogja itu unik dan kreatif. Laboratorium. Unik karena sebagian besar musisi dan pegiat musik punya cara berbeda dalam membangun lalu merepresentasikan karya. Entah itu lagu, pertunjukan, suara, dan lain sebagainya. Laboratorium, karena penuh eksprerimen dan tak takut coba-coba.
Buktinya mana? Ya mungin berbeda tiap zaman atau era sebab punya semangatnya masing-masing. Begitu jawaban yang sering saya dengar. Dengan kata lain masih ngawang. Daripada duga-duga dan tanda tanya, mending denger cerita dan membangun gambar—yang tidak mungkin utuh dan presisi—yang bisa dibicarakan atau didiskusikan lebih lanjut.
Salah satunya adalah peristiwa atau momen musik yang masih membekas dalam ingatan. Tulisan ini adalah awal dari sederet tulisan lain tentang itu. Soal keunikan dan eksperimen-eksperimen yang pernah dilakukan banyak orang di Jogja. Yang pertama, dari ingatan Lintang Radittya.
Lintang adalah seniman multidisiplin yang menekankan proses berkeseniannya pada seni interaktif, elektronika dan seni pertunjukan. Sejak 2011 dia mendirikan Kenali Rangkai Pakai, sebuah proyek pengembangan dan pemasyarakatan DIY synthesizer di Indonesia, dan pada tahun 2013 menginiasi SYNTHESIA-ID, sebuah proyek yang berusaha mendokumentasikan secara aktif perkembangan DIY synth dan synth culture di Indonesia.

Peristiwa musik yang diingat Lintang saat saya membuka topik adalah gig Mencari Harmoni tahun 2000 atau 2001. Waktu itu, cerita Lintang, GOR UNY belum selesai dibangun dan di sanalah gigsnya. Gig itu seperti festival musik elektronik.
“Sebelum Parkinsound kan namanya Mencari Harmoni. Stage di dalam bangunan yang belum jadi, kayak industrial itu. Yang main Mas Jompet, Ari Wulu juga main. Technoshit masih formasi komplit waktu itu. Yang aku inget lagi Selamat Pagi Indonesia, rentang 1995 sampai 1997. Tempatnya di atas TPA. Seberangnya Ngejaman itu ada bangunan jadi di atas itu panggungnya,” kisahnya.
Masih punya benang merah dengan Mencari Harmoni, Lintang menyebut gig elektronik tahun 1998. Waktu itu dia masih SMA dan tergabung dengan Gabungan Aksi Pelajar Cinta Indonesia (Gapci). “Waktu itu gigsnya semacam malam reflektif lah hahaha. SKM, bandnya Ari Wulu dan Jompet main. Elektronikan,” sambung Lintang.
FKY juga disebut, antara tahun 1998 atau 1999 di Malioboro. Panggung musik berbentuk U, seperti gate tapi stagenya di atasnya. Letaknya persis di depan kantor DPRD. Yang main anak-anak metal. Underground. Kemudian, yang sempat dia nonton dan menggugah adalah pentas Mbah Sapto Raharjo di Jembatan Kleringan.
“Kalau kita lihat utara, panggungnya dibangun di lembahnya, di lerengan dan panggungnya dibikin panjang gitu. Yang setting panggung dan lain-lain Om Felix waktu itu,” paparnya.
Lantas muncul studio gigs yang pernah dia ikuti sekitar pertengahan tahun 2000an. Lokasi persisnya di pojokan Kleringan itu seberang Gramedia—gak seberang banget sih—dan Pusat Arsip. Yang unik, band main di dalam studio lalu penampilan mereka diproyeksikan ke luar.
“Di tempat yang sama, tapi bukan di dalam. Iyok Budi Prakoso dan anak-anak Dead Media bikin proyek cover. Beberapa band diundang untuk mengcover band kesukaan mereka di luar. Selangnya nggak terlalu jauh, mungkin antara 2005 sampai 2009,” pungkas Lintang.
Leave a Reply