Bagi sebuah band, mungkin merampungkan album sama halnya menziarahi diri sendiri. Ia telah menempuh malam-malam penuh percakapan yang tak selesai, tawa yang keras, sampai luka yang mungkin tak sempat dijelaskan. Mereka menyusun sesuatu yang utuh—meski retak-retaknya tetap tampak.
Pun dengan “Kehancuran” yang baru-baru ini dirilis band yang mendapat banyak pengaruh dari punk rock ramah televisi akhir 80an: The Peal.
Banyak gigs—yang dikemas dalam banyak skala—telah mereka taklukkan. Dengan atau tanpa kolektif, mereka main maksimal sehingga dapat nama. Diperbincangkan, mendapat pujian sampai terkaan yang mengarah pada curiga dan tuduhan: sama dengan band kakaknya. Sebelas dua belas dengan band tongkrongan mereka. Setidaknya itulah yang kerap dengar ketika menyelinap ke barisan terjauh.
Mereka menjawab dengan “Kehancuran”. Berisi delapan lagu berisik. ‘Berisik’ tidak hanya merujuk pada situasi atau kondisi yang ditandai dengan suara keras, ramai, atau hingar-bingar, yang mengganggu atau tidak menyenangkan. Kata itu, dalam konteks album penuh ini, buat saya ada unsur kesengajaan.
Elemen-elemen suara—di luar vokal—bertumpuk sekaligus bertumbukan satu sama lain. Lagu dengan sensitivitas pop yang cukup besar macam ‘Belum Waktunya’ saja ditumbuk strings yang melahap kata-kata. Buat pendengar yang menyukai punk rock manis, lagu itu barangkali bakal dianggap sebagai retak yang tampak.
‘Gelanggang/Kalah’ dan lagu-lagu dengan mood serupa macam ‘Budak Sosialita’ punya intensitas yang dirambatkan lewat tumbukan serupa yang diperamai liuk synth. Keputusan yang tidak biasa tetapi di sisi lain mempertebal pernyataan bahwa tuduhan banyak orang itu salah, laiknya Husker Du yang menjawab beberapa dugaan atas DOA.
Maka ketika album ini lahir, saya rasa bukan hanya musik yang ditawarkan atau sekadar form warisan masa lampau. “Kehancuran” juga memuat banyak keberanian. Keberanian dalam bereksplorasi. Keberanian untuk bertahan. Bersikap. Keberanian untuk terus sederhana.
Leave a Reply