Catatan untuk Seorang Kawan dan Dua Lagu yang Menggetarkan

Catatan untuk Seorang Kawan dan Dua Lagu yang Menggetarkan

Barangkali seluruh perjalanan manusia hanyalah upaya untuk pulang pada kesederhanaan. Untuk bisa berkata cukup, dan itu bukan tanda kekalahan, tapi kebijaksanaan. Seperti yang dilakukan seorang kawan saya itu, yang membiarkan dunia terus hidup, berputar, dan membakar tanpa dirinya.

Barangkali seluruh perjalanan manusia hanyalah upaya untuk pulang pada kesederhanaan. Untuk bisa berkata cukup, dan itu bukan tanda kekalahan, tapi kebijaksanaan. Seperti yang dilakukan seorang kawan saya itu, yang membiarkan dunia terus hidup, berputar, dan membakar tanpa dirinya.

Dunia hari ini terlalu ramai. Semua berlomba berkata sesuatu. Semua ingin didengar. Semua ingin dikenal. Nyaris tak ada lagi ruang sunyi di mana seseorang bisa sekadar menatap kemudian merasa cukup.

Kota dengan segala suaranya. Layar-layar kaca dengan setiap ukurannya. Bangunan dan gambar yang dulu tampak seperti tanda kemajuan kini serupa barisan iklan—tentang sepatu, ponsel, dan gaya hidup yang bahkan tak sempat kita nikmati karena esok sudah berganti tren.

Di balik layar yang selalu menyala, hidup terasa seperti sirkus: jungkir balik, berupaya menjadi versi paling menarik. Dan algoritma seperti dewa yang tak kelihatan, mengatur ke mana pandangan dan keinginan manusia harus pergi. Hingga akhirnya pertemuan, perpisahan, dan perjalanan menjadi aktivitas melelahkan—kelelahan aneh yang tidak datang dari tubuh tapi dari kepala yang penuh.

Seorang kawan bersama keluarganya menjauh dari kekacauan itu. Ia mendatangi banyak perbukitan, dari yang kecil sampai besar, di mana daun-daun bergerak tanpa cemas. Singgah ke banyak desa dan bertemu orang-orang. Anehnya, setiap tempat dan orang terus membawa mereka ke titik yang sama. Titik mula-mula.

Kawan saya—yang hingga kini masih diingat sebagai gitaris sebuah band di selatan Jogja oleh banyak orang itu—menyerap banyak makna. Dari angin yang menyapu punggung dan himpitan ketiaknya. Dari akar-akar. Dari langit dan hujan. Dari tanah dengan setiap binatang melatanya. Dari udara.

Kemudian ia mulai menulis lagu bersama orang-orang yang ditemuinya. Setelah jadi, ia mengirimi saya dua track. Dua lagu itu baginya bukan apa dan tidak untuk siapa-siapa. Tidak untuk diunggah. Hanya untuk mengingat bahwa ia masih manusia—makhluk yang berpikir dan punya hati. Makhluk penghayat, bukan mesin yang bereaksi. Dan dua lagu itu adalah setiap makna yang ia kecap dengan banyak indera.

Di lagu pertama ia menulis: Perjalananku menuju hulu, arus selalu mengantar ke hilir. Ku tempuh jalan teramat panjang, ternyata hidup mencari karsa.

Larik itu beresonansi dengan saya. Jujur saja, dunia digital membuat kita hidup dalam zaman yang pandai mengukur segalanya tetapi melupakan rasa. Kata ‘rasa’ di sana saya maknai sebagai tempat mula-mula, entah itu rahim atau setiap ruang yang menjadi awal perjalanan dan silam dari seseorang yang membuat kita menjadi manusia seutuhnya.

Larik itu menguraikan ihwal tentang itu, bahwa perjalanan bukan soal jarak. Bukan perkara menjauh dari awal mula tetapi malah sebaliknya. Setiap langkah akan membawa setiap orang lebih dekat menuju rumah.

Yang membawa derita lapar akan berbalik memberi makan. Yang membawa kesengsaraan akan menebar sejahtera. Yang membawa kerusakan akan berbalik memelihara. Yang memaksakan belenggu akan memberi kebebasan…

Bait di lagu ke-2 yang ia kirimkan itu dinyanyikan dengan vibrasi laiknya mantra dan diiringi gamelan yang memegang peran sentral. Saya curiga bait itu adalah perasan dari pembelajaran yang ia dapat selama perjalanan. Buat saya, bait itu seperti ‘zuhud’ pikiran: melepaskan diri dari ilusi, keinginan, dan kebutuhan untuk menang dalam setiap perbandingan. Daya pikirnya itu sulit.

Saya seperti diajak melihat sesuatu yang lebih dalam dari karma. Dari sekadar hitam dan putih. Lagu ke-2 itu mendorong saya agar melihat kemungkinan untuk hidup lebih jernih.

Dan memang benar bahwa dunia tidak perlu disederhanakan karena ia terlalu luas untuk itu. Tapi pikiran bisa. Pikiran bisa diajak duduk, diajak berbincang pelan. Dan di sanalah kekuatan itu lahir: kekuatan untuk tidak bereaksi terhadap setiap hal yang lewat, kekuatan untuk memilih mana yang benar-benar perlu disimpan di dalam hati. Kekuatan untuk berkata cukup.

Perjalanan dan daya serapnya dari setiap peristiwa yang ditemui mempengaruhi saya dan melahirkan pemahaman baru di tengah perang algoritma dan visual. Pemahaman bahwa makanlah ketika lapar, berhenti ketika lelah, dan menulis sedikit sebelum tidur. Kebahagiaan bukan soal menemukan sesuatu yang menyenangkan hati, melainkan soal bisa merasa cukup dengan yang sudah ada dalam keheningan yang jujur.

Barangkali seluruh perjalanan manusia hanyalah upaya untuk pulang pada kesederhanaan. Untuk bisa berkata cukup, dan itu bukan tanda kekalahan, tapi kebijaksanaan. Seperti yang dilakukan seorang kawan saya itu, yang membiarkan dunia terus hidup, berputar, dan membakar tanpa dirinya.