Poem Bengsing: Meramu Pertunjukan Musik Intermedia Abangan
Poem Bengsing

Poem Bengsing: Meramu Pertunjukan Musik Intermedia Abangan

Inilah band dengan aliran “intermedia abangan” bernama Poem Bengsing

Inilah band dengan aliran “intermedia abangan” bernama Poem Bengsing

Entah alasan apa, Poem Bengsing memilih momen 30 September dalam melansir album “Blendrang” di Amphitheater Taman Budaya Yogyakarta. Sekadar sensasi belaka atau momen itu dipilih sebagai unsur spontanitas saja. Persetan! Tidak penting dibahas. Mari kita mulai saja menguraikan band musik ini dari sisi lainnya.

Poem Bensing memang terdiri dari orang-orang yang biasa tampil di belakang layar panggung pertunjukan lintas disiplin. Mereka gerombolan kreatif yang biasa menyelesaikan segala urusan teknis panggung dengan sentuhan magic bahkan pengetahuan artistik. Urusan belakang bisa jadi sudah khatam bagi mereka. Tapi coba bayangkan jika, tiba-tiba harus menciptakan lagu dan bermain musik tampil di depan layaknya seorang performer.

Mereka membalut kostumnya malam itu dengan celemek. Apakah ini juga urusan simbol tentang identifikasi Blendrang yang sarat dengan pawon atau dapur yang biasanya juga di belakang. Mereka hanya pindah tempat tampil di depan tapi identitas belakang mereka masih tidak ditanggalkan melalui celemeknya. Mulia sekali bukan? Mereka seperti kacang sing ora lali ninggal lanjaran.

Apakah konsepsi ruang depan dan belakang panggung itu memiliki perbedaan? Ya, dalam dramaturgi sosial. Seorang performer tampil di atas pentas tentu memiliki tantangan lain mengelola imajinasi. Sementara dunia di belakang panggung adalah realitas mereka. Ada yang berubah meskipun bukan sekedar akting, tapi malam itu gerombolan nget-ngetan ini bermain musik nampak akting natural. Ya itulah mereka.

Lirik-lirik Poem Bengsing cukup beragam tapi intinya mereka liar, nakal, namun sembada. Sesekali puitika, kadang melankolis, ada juga jenaka eksistensialis, tapi juga membahas cinta ala guyon parikena dan spiritualitas dengan dlenyengan. Tema-tema ini seperti diaduk dalam baskom yang mungkin sudah mereka nget dalam kreativitas sekian lama.

Bahkan pertunjukan malam itu sengaja dibuat dengan struktur dramatika meski kadang ada beberapa dramatik dihancurkan sendiri seperti sebuah bit dan punchline mau di-set up apapun itu yang penting dihancurkan bersama. Jangan sampai penonton hanyut, kalau perlu nyekakar bersama penonton dan menghibur.

Malam itu penonton disuguhi pertunjukan musik yang sesekali diboncengi oleh pembacaan puisi, tarian ekspresif dan prosa. Sebagai pertunjukan musik ini cukup intermedialitas. Kosakata, kosanada, kosabunyi, kosagerak, semua diramu jadi satu.

Masih ditambah improvisasi seorang cameo pra lansia, Mbah Patub dengan kosa-diamnya. Sungguh pertunjukan intermedia yang tidak butuh kemapanan secara definitif. Mungkin definisi bagi mereka adalah persetan. Ini sudah abad borderless. Blendrang itu pilihan diksi yang ndesit. Sayur nget-ngetan yang memiliki jargon semakin sering dinget semakin enak.

Tapi bagi yang memiliki lidah sok higienis tidak cocok menu kuliner ini. Pilihan judul ini agak asing bagi telinga-telinga pendengar musik hari ini yang sudah telanjur dengan judul-judul mapan, stereotype, dan sejenisnya. Tapi biarlah, artikulasi itu bebas tafsir. Yang jelas, ini pertunjukan musik yang sudah dipersiapakan dengan matang sekali secara konsep meski spontanitas itu juga bagian dari konsep mereka.

Mereka para Blendrang ini rupanya tidak ingin terjebak pada bentuk pertunjukan yang gitu-gitu saja. Musik itu universal dan bebas berekspresi. Barangkali mereka sedang melawan secara simbolis dengan kemapanan genre-genre dan pola pola sajian kesenian hari ini.

Poem Bengsing

Dari cara menggunakan kostum secara seragam, celemek pun menyiratkan sebuah persiapan ritus yang tidak sekedar musik. Ritus resistensi, kalau boleh sedikit kemaki. Melawan yang sedang dominan, melawan yang sudah terpola dan baku bahkan konvensional.

Mereka menerobos ruang kemungkinan yang alternatif dengan gaya bebas mereka namun metaforis. Apakah melawan harus menang? Tidak perlu. Justru kemenangan itu sudah mereka gaungkan dalam 12 lagu yang malam itu mereka susun seperti jalinan cerita pengalaman mereka masing-masing.

Toh mereka sadar, sebagai penampil di ruang depan, mereka pastinya memiliki refleksi yang barangkali berbeda saat mereka merefleksikan dirinya sebagai orang-orang belakang layar. Inilah pengalaman estetika yang sedang mereka alami. Inderawi mereka sedang mengolah pengalaman itu dari yang mulanya sebagai tenaga pelaksana dan teknis tiba-tiba menjelma menjadi kreator di depan pemirsa.

Bukankah ini lompatan jauh yang tidak sekedar jangan nget-ngetan? Ya, inilah band dengan aliran “intermedia abangan” bernama Poem Bengsing. Selamat mengapresiasi.

Penulis adalah aktor kelompok Sedhut Senut

Elyandra Widharta
Penulis adalah aktor kelompok Sedhut Senut