Kritikus, reviewer, sampai podcaster yang bahas musik dan band-band setempat mulai banyak seiring cairnya media sosial. Mereka mengadopsi, bahkan turut mewarisi sifat-sifat yang melekat pada jurnalis musik konvensional lalu memolesnya sesuai gaya masing-masing.
Satu di antaranya adalah Ghulam Tufail, yang terus menyalak lewat media sosial dan platform lainnya. Ghulam, tidak hanya mulai dikenal sebagai reviewer musik metal atau cadas tetapi juga mulai betah di area obong-obongan band saat ini.
Beberapa waktu lalu, Desta Wasesa ngobrol sama Ghulam. Mereka memulai obrolan dari sejumlah spot wisata masa silam sampai musik. Berikut wawancara khususnya.
Ghulam, bisa ceritakan sedikit nggak kamu tumbuh di lingkungan—sosial dan musikal—yang seperti apa?
Gue sebetulnya ga tumbuh dari lingkungan musik. Keluarga gue dari kalangan agamawan bisa dibilang, kecuali gue yang rebel sendiri, haha. Bapak gue sendiri merupakan seorang mubaligh di salah satu organisasi islam internasional, yang mungkin sudah bisa nebak lah ya apa dari nama gue.
Beliau juga penulis dan penerjemah buku-buku keislaman. Begitu juga dua kakak laki-laki gue, keduanya pengurus cabang organisasi itu. Bahkan kalau dirunut ke mbah-mbah gue, gak ada darah musiknya. Yang ada malah penulis, mubaligh dari berbagai aliran Islam, dan pesilat.
Gue masuk ke dunia musik karena ngulik sendiri sejak pindah SMP di Condongcatur, Sleman waktu itu, sekitar 2008. Itu sejauh yang gue ingat tentu. Gue mulai belajar gitar, belajar nyanyi, nyari tahu berbagai genre musik, ya awal mulanya dari kota Jogja ini. Selama di Jakarta, sebelum pindah, gue banyaknya belajar ngegambar yang memotivasi gue buat masuk SMK Animasi.
Masa remajamu dikelilingi musik yang seperti apa sih? Pernah nyoba benbenan nggak?
Nah, waktu SMP itu awalnya karena gak sengaja dengerin playlist System Of A Down di PC kakak gue di kantornya. Berawal dari ngerasa aneh sampe tertarik buat cari tahu lebih dalam dengan musiknya SOAD. Dari situ mulai ngulik band-band Nu Metal kayak Slipknot, Linkin Park, Limp Bizkit, Korn, dll. Jadi awal pertemuan gue dengan genre heavy metal malah di Nu Metal dulu baru explore ke subgenre heavy metal lainnya. Masuk SMK mulai explore lebih luas lagi ke berbagai genre musik. Sampai nyoba impersonate Iwan Fals, ya pernah.
Gue mulai band-bandan ya sejak SMK Animasi di Cianjur itu. Gue gabung band kelas gue yang namanya The AniTHOR, singkatan dari the animator sih, simple aja. Awalnya gue cuman nyumbang nama band, eh malah direkrut jadi bassist, dan unclean back vocal. Sampai sekarang itu jadi instrument utama gue. The AniTHOR mainin genre pop punk, pop rock gitu. Kita suka ngecover Vierra, Geisha, Killed By Best Friend, sampai masuk festival tingkat kabupaten.
Selain ngeband, gue juga tergabung di grup marawis SMK dan luar sekolah. Instrument gue waktu itu marawis. Pernah ikut lomba sana sini level kabupaten, diundang di acara nikahan, dll. Ikutan pencak silat juga, tapi gue gak bisa tarung, gue lebih seneng pencaknya. Sesekali mainin kendang. Itulah kenapa di grup marawis posisi gue megang marawis, ada narinya juga soalnya.
Itu lanjut sampai kuliah sambil mondok di Jogja. Gue masuk grup hadroh, megang darbuka. Direkrut jadi bassist Suffering Legato, band groove metal yang sekarang lagi tidur panjang. Sempat ikut festival metal jogja dua kali doang, abis itu resign karena gue harus fokus jadi fasilitator & trainer di LSM Pendidikan Perdamaian waktu itu.
Apa pemicu sehingga dirimu terjun ke dunia musik, khususnya musik keras?
Ya itu karena gue tuh orangnya penasaran banget. Suka ngulik. Ngulik band-band metal, sampai pengen punya band metal. Yang awalnya band-bandan sampai jadi tukang review musik keras.
Jadi reviewer ini awalnya gak seserius itu. Iseng nge-youtube karena gabut di pondok pas 2019, terus 2020 pandemi ya makin gabut, jadi diterusin. Seiring berjalannya kegabutan gue itu, lah kok banyak yang request, ya udah deh jadi serius.
Selain karena gabut, tentu ada values yang mau gue share lewat review gue. Melihat latar belakang keagamaan gue, dan masih banyaknya stereotype tentang heavy metal yang katanya satanis, jadi ada keresahan itu.
Sejak gue ngulik pas SMP itu, heavy metal tuh gak seperti yang orang-orang bayangkan. Bahkan musik keras banyak ngebawa pesan-pesan keagamaan juga. Kayaknya ini yang jadi api gue buat ngereview musik keras. Gue suka share the valuesnya gitu loh.
Buatku, jurnalisme musik atau penulis musik (teks, reviewer, kritikus) itu hidup di dunia sunyi sekaligus bahaya. Sunyi karena selalu berkutat pada pikiran dan ide yang harus dilontarkan sekaligus jauh dari ingar bingar agar lebih jernih melihat segala sesuatu. Bahaya karena kita hidup dalam dunia yang populer dengan cancel culture. Lantas, bagaimana caramu mengatasi ketakutan atau kesunyian yang tiba-tiba datang—sekalipun media sosial sangat membantu mempopulerkan segala sesuatunya?
SEPAKAT BANGET! Gue mah udah bodo amat. Sejak awal gue masuk ke internet, gue sudah sadar akan konsekuensi itu.
Ini juga mungkin karena gue berangkatnya dari trainer dan fasilitator dulu sebelum terjun nge-youtube. Gue sudah terbiasa dengan audience yang kurang dari 10 orang. Pernah ada masanya gue diundang jadi pembicara toleransi di Jogja, peserta yang hadir cuman panitia dan mungkin 5 orang tamu undangan saat itu. Jadi mau sedikit atensi atau rame sekalipun, ya udah biasa aja. Gue selalu bersyukur ketika ada 1 orang aja yang mau mendengarkan opini gue.
Gue juga sudah kebal dengan persekusi secara nyata, sorry agak nyombong. Ya pertama karena latar belakang madzhab keislaman gue, kedua karena gue juga pernah ngurus organisasi lintas iman, ikut mendampingi beberapa kasus intoleransi di Yogyakarta. Inget banget tuh waktu ponpes waria kotagede digruduk, beberapa jaringan komunitas dan LSM sibuk buat mendampingi mereka.
Belum lagi kasus asrama mahasiswa papua, gue pernah diinterogasi polisi selama, gak tahu, 3 jam ada kali, karena gue bikin acara diskusi di asrama papua kusumanegara waktu itu. Telepon gue, socmed gue pernah diteror banyak orang karena bikin acara Natal barengan maulid Nabi Muhammad SAW. Kebetulan di tahun itu 2 hari besar itu cuman beda sehari, jadi buat kami aktivis toleransi itu adalah momentum bagus, tapi tidak bagi sebagian orang ternyata.
So, berlandaskan pengalaman-pengalaman yang lebih horror itu, buat gue cancel culture di internet kayak hal yang biasa aja. Bebas deh orang atau musisi mau cancel gue.
Pernah ada yang marah nggak dengan reviewmu?
Pernah banget. Pengalaman pertama gue kena semprot di internet karena ngereview Edane. Gue kasih score 6/10 untuk single “Si Bangsat” di 2020. Seru-seru sih komentarnya, haha.
Terus, gue juga pernah disemprot sama member band yang gue kasih review jelek. Ternyata, ga semua band member bisa sependapat sama review gue. Ada member yang bisa terima, ada yang enggak.
Siapa sih acuanmu dalam memberi kritik atau review? Kenapa?
Jujur, gak ada sama sekali. Gue justru baru ngulik reviewer atau penulis musik lain setelah gue terjun langsung. Jadi gue gak punya role model langsung. Baru belakangan gue tahu beberapa nama jurnalis musik nasional maupun lokal Jogja.
Gue aja baru tahu Fantano yang katanya mirip gue jauh setelah gue nge-youtube. Baru belakangan juga sih gue suka ngikutin prinsipnya Anthony Fantano dan Soleh Solihun yang bodo amat sama respon artistnya.
Bagaimana menurutmu tentang skena musik keras di Jogja sesudah pandemi? Apakah kota ini masih pada khitahnya sebagai laboratorium atau perlahan bisa menjadi etalase?
Jujur gue baru ngikutin komunitas dan skena musik keras Jogja ya tiga tahun ke belakang. Sebelumnya hidup gue di pondok pesantren dan dunia lintas iman aja. Jadi gue gak tahu banyak, ini masih banyak belajar.
Ini mah berdasarkan pengamatan sempit gue aja, ya. Skena musik keras di Jogja geliatnya ke arah yang bagus. Gigs mulai banyak, band-band keras baru Jogja mulai diterima lebih luas lagi oleh pendengar lokal maupun internasional. Thanks to internet. Tapi skena musik keras mungkin harus bisa lebih berbaur dengan skena genre lain. Jadi jangan sampai terjebak di bubble yang itu-itu aja.
Untuk skena musik Jogja, kota ini masih bisa jadi laboratorium musik. Dengan banyaknya festival-festival based on genre, gigs-gigs kecil oleh kolektif, media-media musik yang seabrek, Jogja jadi ruang musik yang hidup. Tapi apakah bisa menghidupi, itu soal lain. Semoga industri musik gak melulu di Jakarta, Yogyakarta bisa jadi berikutnya.
Leave a Reply