Lagu-lagu Jikustik yang ‘Kebangetan’ di “Perjalanan Panjang”
Tangkapan layar dari Apple Music

Lagu-lagu Jikustik yang ‘Kebangetan’ di “Perjalanan Panjang”

Tulisan ini bukan tentang lagu-lagu hits Jikustik seperti ‘Pandangi Langit Malam Ini’, ‘Setia’, ‘Saat Kau Tak di Sini’, atau ‘Puisi’. Ini tentang lagu-lagu ‘pinggiran’ yang buat saya punya kekuatan mengubah hati pendengar menjadi monokrom.

Tulisan ini bukan tentang lagu-lagu hits Jikustik seperti ‘Pandangi Langit Malam Ini’, ‘Setia’, ‘Saat Kau Tak di Sini’, atau ‘Puisi’. Ini tentang lagu-lagu ‘pinggiran’ yang buat saya punya kekuatan mengubah hati pendengar menjadi monokrom.

Tiba-tiba saya ingat Jikustik usai membaca utas tentang percintaan—yang melelahkan—di media sosial. Soal hidup dan mencintai seseorang di antara standar yang bukan kita buat, lalu mengukur perasaan dengan penggaris retak. Dan pada akhirnya, yang kita kejar bukanlah kebahagiaan yang hening, tapi validasi anonim dari orang-orang yang bahkan tak kita kenal.

Lagu-lagu Jikustik yang sering menemani masa remaja saya di kamar tiba-tiba menyergap saat saya nyaris lupa bahwa yang paling sederhana—kehadiran, kesetiaan, keheningan yang nyaman—adalah hal-hal yang tak akan pernah bisa dijumlahkan. Yang tak terukur.

Jikustik, dalam realita kekinian, di lingkar terdekat saya, jarang menjadi referensi penulisan lirik atau tata suara. Padahal, band ini punya segalanya. Formula penulisan lirik, di mana seolah-olah pendengar diajak bicara—sekaligus berpikir dewasa—ditopang aransemen terukur yang selalu berhasil membangun banyak suasana (terutama kemuraman yang jelas dan terbuka) sampai keberanian menaruh banyak kejutan di area tata suara. Jikustik, sekali lagi, punya segalanya.

Salah satunya—dan yang menjadi album terfavorit saya—adalah “Perjalanan Panjang” tahun 2002. Album ini kalah populer dari “1000 Tahun” (2000) atau “Sepanjang Musim” (2003). Namun, buat saya ukurannya bukan angka penjualan sekali pun mereka adalah merk dagang yang cukup besar di industri musik Indonesia saat itu.

“Perjalanan Panjang” buat saya album konseptual. Mendengarkan track demi track seperti membaca catatan perjalanan penuh luka dan cahaya. Saya merasa mereka bicara tentang perpisahan, tetapi bukan lewat tangisan dan kekalahan yang membuat tubuh terpanggang tinggal rangka melainkan dengan keheningan yang menusuk.

Di sela-sela itu muncul pertemuan yang singkat, rapuh, dan jujur. Seperti dua orang asing di peron stasiun kereta: menatap sebentar, tersenyum tipis, lalu berpisah tanpa tahu apakah akan bertemu lagi. Album ini tidak menutupinya dengan kata-kata besar, hanya menunjukkan bahwa setiap pertemuan memang selalu mengandung perpisahan.

Dan di ujungnya, ada ajakan untuk merelakan. Bukan nasihat moral, tetapi semacam bisikan pelan: lepaskanlah, karena yang kita genggam bukan selamanya milik kita. Lirik-liriknya tidak menggurui, hanya mengingatkan kita betapa hidup ini adalah arus—datang dan pergi, bertemu dan berpisah.

Mereka menangkap zaman, ketika orang-orang saling mencintai dengan keberanian dan kerelaan sedalam palung. Cinta yang menantang tebing dan karang. Zaman, ketika realita tak semenakutkan sekarang. Dan ada tiga lagu dalam album ini yang kebangetan sedihnya. Kebangetan muramnya. Namun, di saat bersamaan menjernihkan pikiran. Rasanya seperti menatap langit pagi setelah semalam hujan deras: basah, dingin, tapi ada harapan samar yang tumbuh di sana.

Relakan Aku…
Track ke-10 ini dibuka lewat suara cello beresonansi rendah dan hangat bersama gitar akustik. Ketika Pongky Barata melontar lirik, resonansi itu membuatnya mudah terhubung dengan perasaan pendengar.

Saya membayangkan sepasang kekasih yang sama-sama memahami bagaimana dunia bekerja. Yang memaksa setiap orang mengakui bahwa cinta yang besar kadang harus belajar melepaskan. Sebab, selalu ada mimpi yang berbeda, ada tanah yang tak lagi sebidang. Mereka berjalan menjauh tanpa saling menoleh, dengan langkah yang berat tapi dengan dada yang tetap berdetak hangat.

Selalu Salahkan Mu
Lagu sepanjang lima menit tiga puluh tiga detik (di Youtube Music) ini mendapat banyak pengaruh dari band-band pop rock tahun 80an. Sebut saja Roxette, The Police, sampai U2. Riff gitar kaya suara dan kejutan. Strings bukan sekadar tempelan untuk mempertebal rasa tetapi sesuai fungsi, membentuk harmoni dan tekstur lagu yang sebenarnya cukup kompleks di area pop saat itu. Tidak banyak band kekinian yang bisa begini.

Aku, Kau dan Kereta
Kereta, di zamannya, adalah metafora perpisahan populer. Kereta begitu imajinatif menggambarkan rasa pedih, bahkan perih. Namun, kereta juga tak kehilangan maknanya sebagai awal dari perjalanan baru seseorang.

Ini saatnya kita harus mengerti/Kereta ini kan membawamu pergi/Dan bila kau sampai di sana/Tak pernah ada lagi kita mengakhiri lagu yang dibangun dengan ‘manipulasi’ chord yang cukup ketat itu.

Lagu ini seperti kanvas kosong yang digelantar Jikustik untuk pendengar. Kanvas itu saya isi dengan adegan seperti ini: kami berdua berdiri di peron yang mulai sepi. Di atas kepala, langit menggantungkan warna kelabu yang ganjil. Kami tahu ini bukan sekadar perpisahan biasa. Ini adalah semacam kesadaran pelan bahwa jalan kami tidak lagi sama.

Aku menatap matanya dan melihat bukan kebencian, melainkan ketenangan yang pahit. Ketika suara kereta mendekat, kami saling melepaskan lalu meleburkan semuanya pada dunia. Pada ribuan kemungkinan yang menenggelamkan tetapi dengan semeleh bening yang tak akan terulang di kemudian hari.