80 tahun nusantara raya. 80 tahun bangsa ada. 79 tahun 364 hari ini Indonesia ada. 17 Agustus 2025, hampir setiap lapang upacara. Menghormati mereka yang memberikan nyawa dan harta. Yang kini mati, tanpa pernah menyaksikan seperti dan menjadi apa tanah yang mereka perjuangkan.
80 tahun Indonesia dirayakan di antara mereka yang pesimis dan optimis. Saya adalah satu dari sekian yang pesimis itu. Sebab, saya tumbuh dan dibesarkan di era kemerdekaan yang latah. Patah. Perulangan yang menjadi gema tetapi tiada makna. Mungkin sampai hari ini.
Para pejabat berdiri tegak, penuh wibawa di lapangan. Mereka berbicara tentang perjuangan, tentang darah para pahlawan, tentang cita-cita. Tetapi apakah mereka benar-benar percaya pada kata-kata itu, atau sekadar menghapalnya serupa sajak yang diulang setiap tahun?
Di luar pagar, bapak dan ibu rumah tangga berdesakan mendapatkan pembagian sembako. Para sarjana takut pulang ke rumah karena ijazahnya ditolak. Di pinggir jalan, sopir angkutan duduk lesu menunggu penumpang yang tak kunjung datang. Di televisi, berita tentang korupsi deras tanpa henti. Lalu kita dipaksa merayakan kebebasan sementara keadilan begitu mahal harganya.
Setiap tahun, tanggal ini datang membawa tirakat khusyuk dan perayaan gegap gempita. Namun kapan kita terakhir merenung? Kapan terakhir bicara pada kejujuran? Kapan hidup bebas dari ketakutan? Bebas dari lapar, bebas dari kebohongan?
Indonesia hari ini jauh berbeda dengan Indonesia yang tumbuh ketika melawan kolonialisme dan penindasan-penindasan lain demi kemerdekaan dirinya sendiri. Barangkali satu abad yang lalu, atau lebih—entah dihitung dari peneterasi ‘Max Havelaar’ ke meja-meja politik atau Boedi Oetomo—Indonesia dibangun dari nurani yang hidup. Dari kehendak dan kemauan membebaskan semua orang dari penderitaan para tiran.
imajinasi kita tentang “Indonesia” hari ini barangkali tak jauh berbeda. Indonesia jaya. Yang sudah patah sejak Ganefo, Conefo, pemberedelan demi pemberedelan, penahanan tanpa pengadilan, dan konfrontasi demi konfrontasi bapak. Tercerai berai ketika negara menebar teror lewat senjata dan cap mematikan sembari menuntut rakyat bekerja keras dan rela berkorban demi kas negara.
Namun, toh kita tetap merayakan. Sebab, dalam perayaan ini, kita merasa memiliki negara dan mendapatkan kemenangan-kemenangan kecil. Setidaknya, agar harapan atas Indonesia jaya itu terus hidup.
Leave a Reply