Pleidoi: Air Mata di Hari yang (Tampak) Membosankan
Pleidoi

Pleidoi: Air Mata di Hari yang (Tampak) Membosankan

Pleidoi membangun lagu secara interteks lalu menyajikannya dengan dingin.

Pleidoi membangun lagu secara interteks lalu menyajikannya dengan dingin.

‘Air Mata di Hari yang Asing’. Demikian judul single pertama Pleidoi dari 12 trek di album “Antara Aku dan Kau Terbentang Semua Hal Bajingan di Kehidupan” dirilis 18 Juli 2025 lalu. Saya rasa single itu membentuk portal yang sedikit terbuka. Untuk mengenal mereka, dari ide hingga konsep musik.

Seluruh lirik dalam album mereka berasal dari buku kumpulan puisi salah satu personil, Julianno Lorca berjudul “Kepada Bangsa yang Membuatku Jadi Penduka”. Buku puisi itu juga rilis berbarengan di hari konser album Pleidoi 15 Juli 2025 di Pool Theatre Kampoeng Media.

Sebagai sebuah lagu yang berangkat dari puisi, Paulus Neo dan Dimas Suryo pasti telah membaca, membelah, lalu mengonversi teks ke bunyi yang mereka tatah—buat saya—dengan hati-hati. Barangkali, meminjam prinsip mosaik Julia Kristeva: menyerap teks lain lalu menaruhnya ke teks besar bikinan Lorca. Dengan kata lain, interteks.

Sehingga, saya merasa ada unsur kesengajaan form ‘Air Mata di Hari yang Asing’ dibuat ‘lempeng’ begitu saja. Tak berkelok atau menanjak sekaligus repetitif. Dengan puisi yang tiap kalimatnya dilontarkan seperti orang membaca tulisan yang tak jelas dari wartawan bodrex dalam surat kabar renta yang mulai dilupakan.

Namun, tatanan itu seperti trik agar pendengar turut merasakan apa yang tengah dirasakan Lorca ketika menulis puisi itu. Bosan. Muak. Atau barangkali saat itu tengah hidup seperti api kecil dalam hujan yang belajar menyalakan kembali dengan tangan gemetar: dari sepi, dari tawa orang lain, dari doa yang tak sempat selesai.

Dan ketika pendengar merasa demikian, atau bahkan tak merasakan apa-apa setelah mendengar lagu ini, maka mereka telah berhasil.