Taufiq Aribowo dan Antologi Mengantar Lupa yang Leka di Relasi Bunyi
Foto: Panji Arka/Sakatoya

Taufiq Aribowo dan Antologi Mengantar Lupa yang Leka di Relasi Bunyi

Relasi Bunyi 2025 dibuka dengan pertunjukan ingatan Taufiq Aribowo dan Antologi

Relasi Bunyi 2025 dibuka dengan pertunjukan ingatan Taufiq Aribowo dan Antologi

Presentasi Karya Relasi Bunyi 2025: Spatial Awarness To Natural Turbulance di Sakatoya Collective Space Kamis (3/7/2025) malam dibuka Taufiq Aribowo dan Antologi. Keduanya musisi eksploratif yang dikenal terus membuka kemungkinan-kemungkinan baru lewat tatah dan frekuensi bunyi.

Sebelum naik ke ruang pertunjukan di lantai dua, panitia membagikan zine plus mini CD yang disusun Arie. Dalam zine itu Arie sedikit memapar judul dan tema pertunjukan: biner. Dualitas, yang ketika ditarik ke konteks sosial terdapat kecenderungan menempatkan salah satu elemen ke posisi yang lebih tinggi.

Dan Arie memosisikan karyanya sebagai oposisi biner. Di antara. Selalu ada hal di tengah-tengah hidup dan mati. Di tengah konsep baik dan buruk atau fiksi dan fakta. Lalu ia mengambil sejarah, contoh kasus yang ia dekonstruksi lewat bunyi dan visual—saya curiga ia meminjam tantangan Derrida terhadap oposisi biner—selama pertunjukan.

Taufiq Aribowo di Relasi Bunyi 2025 (Foto: Panji Arka/Sakatoya)

Para penonton diarahkan duduk di dalam area yang telah ditentukan dikelilingi delapan pengeras suara. Rangkaian audio itu sepertinya disengaja agar penonton menemukan pengalaman dengar dari berbagai arah sekaligus mendapatkan sensasi suara yang datang dari berbagai titik dalam ruang tiga dimensi.

Lampu dimatikan. Arie, ke tengah area, lalu dengan tenang memainkan monitor dan laptopnya mengantar bunyi yang perlahan menyiksa penonton bersama proyeksi visual yang ditembakkan ke lantai dengan transisi cepat. Gambar-gambar itu menyerupai penjara dan puzzle. Teka-teki yang terus bergerak secara vertikal dan horisontal itu menyalakan lagi imajinasi terlebih ketika menyatu dengan derit pintu yang bersahutan dengan suara kuku menggaruk tembok.

‘Penjara’ dan suara-suara itu mengingatkan saya pada tahun-tahun yang coba dilekakan negara. Tragedi. 1957. 1965. 1974. 1980. 1982. 1985. 1989. 1994. 1997. 1998. 1999. 2001. 2004 dan seterusnya. Tahun-tahun yang diantar ulang lewat suara di delapan pengeras. Proyeksi penjara dan puzzle itu, buat saya, bukan untuk para korban kekerasan yang dipaksa menelan suara sendiri melainkan kita hari ini.

Kita yang bicara dalam takut. Dalam bisik dan meraba di tengah kabut. Kita yang digiring untuk lupa, bahwa sejarah sebenarnya bukan milik pemenang saja. Ia juga milik mereka yang tak pernah diberi ruang bicara. Milik orang hilang, yang dibungkam dan dituduh tanpa suara. Dan selama nama-nama mereka masih dibisukan, maka sejarah tetap pincang.

Penonton—termasuk saya—yang tersapu visual penjara itu adalah orang-orang tanpa suara yang digiring lupa. Oleh nilai-nilai budaya bahkan agama. Adagium-adagium besar yang menjalar dari kitab-kitab keraton. Agaknya itu pula alasan Arie menyelipkan percakapan Jawa dilatarbelakangi suara gending yang lamat-lamat.

Arie dan Antologi foto bareng usai pertunjukan (Desta Wasesa)

Antologi

Beda dengan Arie, Antologi, menggeser perangkat ke luar area penonton. Ke sisi sebelah kiri pintu masuk ruang pertunjukan. Penonton pun bergerak ke tengah area, mengisi kekosongan. Mereka dibebaskan menikmati pertunjukan. Boleh berdiri. Duduk. Kelekaran.

Namun, frekuensi suara dari Antologi yang memutar di delapan pengeras seperti gravitasi. Membekukan setiap tubuh di tempat masing-masing. Suara yang ia keluarkan dari perangkatnya memberi pengalaman meditatif. Mulanya terasa ‘aneh’ ketika ia membuka pertunjukan suara dengan vibe orang ngobrol. Namun, perulangan dengan intensitas yang tidak kurang tidak lebih pelan-pelan membantu pendengar fokus lalu memasuki kesadaran berbeda.

Antologi (foto: Panji Arka/Sakatoya)

Saat itu tak ada yang bicara. Semua mendengar dengan khidmat. Antologi, beberapa kali memastikan suara-suara yang biasa kita dapati di sekitar merambat dengan baik. Suara-suara yang kadang tidak kita pedulikan. Buat saya, Antologi, dengan karyanya, berupaya mengembalikan penonton menjadi manusia seutuhnya. Yang peka.

Perulangan bunyinya mengantar kita ke hari-hari ketika hidup terasa begitu biasa.
Saat bangun pagi, bikin kopi, menyapu halaman, ke pasar, sampai naik transportasi umum. Hari-hari biasa di mana kita kerap lupa bahwa keajaiban justru bersembunyi dalam hal-hal kecil.
Kesederhanaan bukan berarti kekurangan. Ia adalah bentuk lain dari cukup. Dan kadang, cukup itu adalah mendengar.

Mendengar bukan sekadar membiarkan suara masuk ke telinga. Mendengar adalah kehadiran yang utuh—sebuah kesediaan untuk tidak menjadi pusat dunia. Kita mendengar bukan untuk menjawab. Bukan untuk menunggu giliran bicara tetapi untuk membiarkan yang lain ada.