Seseorang menerabas keheningan dengan motor berkronjotnya. Kukira seorang petani yang hendak memanen salak. Sebab, kami sedang ada di sebelah kebun salak saat itu. Tiba-tiba orang itu berjalan ke arah kami, menenteng gitar dan membawa senyum tak terlupakan.
Ia tak langsung genjreng. Ia menyapa orang-orang yang dilewatinya terlebih dahulu. Samar aku dengar, dia salah seorang yang ditunggu-tunggu di luar narasumber utama.
Ah, ternyata dia ‘ada’ untuk mengiringi kedatangan narasumber. Sang narasumber datang bersepeda diringi lagu selamat datang sederhana. Singkat cerita, ia menutup pertemuan dengan lagu Sayonara. Ya, persis seperti tebakanmu, untuk mengiringi kepulangan kita bersama.
Dari Yuliono Singsoot—dalam cuplikan kegiatannya di atas—kita bisa belajar banyak. Salah satunya bahwa, kita boleh, bisa, dan sah saja membagikan atau menyebarkan musik di ruang-ruang kecil. Tak harus bercita-cita main di Cherrypop atau Coachella Mas, Mbak.
Masih banyak ruang untuk membagikan frekuensimu. Justru ruang-ruang kecil adalah penambat musik dan interaksi, sebab mana ada obrolan dan diskusi dari barikade yang membatasi. Dalam ruang kecil, kita telanjang. Tak ada ruang transit seniman untuk bersolek dan membuat segregasi: aku musisi dan kamu bukan. Di sana semua menyatu, seperti alam semesta.
Gelombang laut tak pernah berhenti bergulung. Semoga musikku dan musikmu tak berhenti meski tak ada lagi yang peduli.
Leave a Reply