Barangkali sebuah band atau kolektif musik—yang belum terpapar ide klasik tentang pasar, pemasaran, niche, dan lain sebagainya—memang cenderung mengembangkan diri mereka sendiri. Sebab bukan hal aneh bila seniman menolak jumud.
Ia bisa lari dari rencana awal lalu menemukan perjalanan yang menegangkan. Bertemu kelok dan tebing yang tidak terduga-duga. Belukar yang melukai. Atau malah sebaliknya, tanah luas tanpa marabahaya.
Seperti halnya Lealona, duo, yang kini menggeser proses bermusik ke Jogja. Mereka bergerak, berupaya menjadi sesuatu yang berbeda. Menghindari cap dan jeratan kategori-kategori—jaring yang dibangun dari industri musik masa lampau.
Lara Berlalu adalah gerak pertama menuju area baru. Gerak yang menolak jumud selepas trilogi: Masa, Mustikaning Laku, dan 3 Dasawarsa. Single sekaligus laku, mencairkan ketegangan dalam ketidakpastian algoritma di dunia digital.
Namun, bagi pendengar yang kadung memberi cap pada Lealona, Lara Berlalu adalah anomali. Sesuatu yang ganjil. Menjauh dari wajah yang mereka pasang sebelumnya.
Lara Berlalu memang menjadi lagu yang hangat tetapi tanpa ruh. Sebab nyawa mereka belum tercerabut sepenuhnya dari trilogi sebelumnya dan menggeser ingatan terhadap itu adalah pekerjaan berat.
Buat saya, apalah nyawa tanpa makna dan mereka sedang mencarinya ke seluruh area. Bisa saja nanti Lealona kembali ke titik semula atau sebaliknya, nyaman dengan apa yang dilakukan saat ini. Toh menjadi pop—dengan ukuran mereka sendiri—tidak salah dan setiap seniman punya hak untuk itu.
Leave a Reply