Mendengar single Mata Surya: Negeri Bingung, seperti menyimak gunjingan teknokrat muda tentang perilaku para politikus dalam lounge sebuah hotel mewah berlatar waktu akhir 90an. Gunjingan, sebagai bentuk pantulan sosial di sekitar, yang diantar lewat musik pop dengan perasan R&B, soul, dan perasan nektar reggae dengan sedikit ingatan terhadap Alfred Simanjuntak.
Tentu saja kesan itu didapat dari kebiasaan-kebiasaan yang dikotakkan industri musik. Bahwa musik pop, terlebih dengan perasan-perasan macam itu (sebutlah city pop bila mau) bukan kendara populer dalam menyampaikan kritik atau menjaring refleksi sosial di Indonesia. Tidak pula secara eksplisit.
Fariz RM pernah eksplisit dalam Suzie Belel yang menyuguhkan fenomena pergaulan bebas anak muda metropolitan yang jauh dari kategori-kategori bikinan Orba. Standing poin-nya sama, menyelinapkan ontologis dari puncak menara, lalu dipeneterasikan dalam jive perkusi dan sampling.
Lirik lagu bertema kritik dengan konsep mimikri atau fiksi sering dipasangkan dengan aransemen yang lebih sederhana. Balada. Dengan pergerakan chord sederhana sehingga notasi melodi bisa leluasa diisi lirik. Dengan ritme tetap dari awal sampai akhir. Atau malah sebaliknya dengan keagresivitasan musik cadas dan elemen-elemen suara dalam boombap.
Mata Surya coba lepas dari ‘peraturan’ tak tertulis itu. Di luar pemilihan dan tata suara bass yang masih kering, aransemen lagu ini berfungsi sebagai peredam lirik tentang kebanalan sebagian besar politikus di negeri ini. Yang menarik, band asal Gunungkidul ini menyisipkan part yang berpotensi jadi larik sing a long.
Leave a Reply