Kali pertama mendengar Pandemic Rage lewat mini album Hipocrite, impresi saya adalah mereka band yang tergopoh—lalu terantuk batu—mengejar estetika Nu Metal ala Limp Bizkit, Tujuh Kurcaci, Scope, RELP, sampai Mushroomhead dengan attitude vokal Smule.
Dalam mini album itu ada banyak sketsa, ekspresi kemarahan dengan setiap kata gantinya. Namun, yang datang malah wajah Mario Teguh ketika membuka mini album.
Saya percaya dengan kelahiran kedua dan tampaknya Pandemic Rage telah mengalami momen khidmat itu. Kedatangan mereka yang baru ini cukup menyenangkan, tanpa utopia. Lebih terukur, teratur. Barangkali—meminjam konsep Ong Hok Nam—memutus kontinuitas kebengalan masa silam.
Kelahiran kedua diikuti konsep baru, setidaknya untuk mereka. Berkendara Hardcore, mengusung kemarahan yang terukur lewat tenggorokan vokalis perempuan. Pandemic Rage memperlihatkannya pada ‘Moving Wild Trough Disaster’ dan modifikasi ‘Unjustice’ yang diambil dari mini album.
Kemarahan dalam kendara baru ini buat saya mudah mencapai pendengar karena lebih artikulatif di bagian vokal. Attitude vokal pula yang bikin ‘Unjustice’ menemukan bentuk telengasnya—setidaknya untuk saat ini. Selamat, Pandemic Rage!!
Leave a Reply