Tiga Film Jadul Wediaan Pilihan Hanni Prameswari
Wallpaperflare.com

Tiga Film Jadul Wediaan Pilihan Hanni Prameswari

Tiga film ini tidak membosankan meski ditontong berulang kali.

Tiga film ini tidak membosankan meski ditontong berulang kali.

Dari sekian banyak hobi yang saya miliki, salah satu yang gemar saya lakukan sejak kecil—selain mendengarkan musik—yaitu nonton film. Lahir dan tumbuh di kota seperti Cilacap membuat saya mengalami keterbatasan dalam mengakses kegiatan pelepas penat itu.

Saya bisa menonton film apa saja yang tersuguh di layar kaca, seperti film-film yang tayang di program semacam Layar Emas RCTI atau Bioskop Trans TV. Untungnya dari kecil saya tidak pernah dilarang nonton TV terus-menerus walau sudah lewat jam sembilan malam (soalnya, bapak saya orangnya juga suka nonton, wkwk).

Medium memilih tontonan bertambah ketika saya menginjak bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sepulang sekolah, tepatnya saat transit sebelum naik angkot jurusan selanjutnya, saya sering mampir ke toko rental VCD/DVD di dekat terminal. Saya menyewa film berdasar sinopsis dan review di majalah Cinemags yang tersedia di sana atau usai minta rekomendasi abang penjaga rental.

Well, cukup throwback-nya.

Saya sedang dalam kereta Cilacap-Jogja ketika Mas Desta menodong bikin artikel film untuk rubrik Pop musikjogja.id. Duh, jujur nih, bikin daftar semacam top three seperti ini bukan hal mudah. Banyak sekali film yang masih membekas atau berkesan hingga saat ini.

Dari sekian banyak film yang sudah saya tonton, setidaknya ada tiga film lawas yang menurut saya paling ‘edan’. Ingat, sekali lagi, ini daftar versi saya. Selain tiga film ini, tentu saja masih banyak film keren lainnya yang saya sukai. Here we go.

12 Angry Men (1957)

Film yang disutradarai oleh Sidney Lumet ini merupakan directorial debut film panjangnya. Film berdurasi 1 jam 35 menit ini diadaptasi dari teleplay atau naskah televisi yang ditulis oleh Reginald Rose pada tahun 1954. 

Film ini dimulai dari adegan dalam sebuah persidangan kasus remaja berumur 18 tahun yang dituduh membunuh ayahnya. Hakim meminta 12 juri berdiskusi untuk mencapai satu kesepakatan. Keputusan, apakah tersangka bersalah atau tidak.

Meski isinya cuma nonton 12 juri berdebat dalam format film hitam putih dan sebagian besar pengambilan gambarnya dilakukan dalam ruangan tertutup, menurut saya film ini tidak membosankan. Alih-alih bosan, saya malah dibuat penasaran terus dengan mekarnya dialog dan kecambah analisis seiring berjalannya waktu.

The Godfather (1972)

Film yang satu ini sudah tidak asing lagi. kerap masuk jadi favorit banyak orang. Film yang disutradarai Francis Ford Coppola ini diadaptasi dari novel berjudul sama karya Mario Puzo. The Godfather terbagi ke dalam trilogi: The Godfather (1972), The Godfather Part II (1974), dan The Godfather Part III (1990). 

Trilogi ini menceritakan tentang rivalitas antargeng di Amerika usai Perang Dunia II yang berfokus pada kehidupan keluarga mafia keturunan Italia bermarga Corleone di Amerika. Dari trilogi itu, saya lebih fokus di film pertama.

Dikisahkan dari masa kejayaan seorang mafia bernama Vito Corleone (diperankan oleh Marlon Brando) yang terkenal dengan julukan ‘The Godfather’ dan memiliki pengaruh kuat di wilayahnya. Ia disegani sekaligus ditakuti banyak pihak. Konflik bermula saat bisnis narkotika mulai merambah di Amerika.

Don Vito memiliki empat orang anak, salah satunya bernama Michael Corleone (Al Pacino). Awalnya, Michael berusaha menjauh dan tidak tertarik dengan bisnis keluarganya yang kerap menggunakan kekerasan dalam praktiknya. Namun, nasib Michael perlahan berubah. Dimulai ketika sang ayah ditembak karena menolak terlibat dalam bisnis narkotika keluarga mafia lainnya.

Konflik meluas, memengaruhi tiap pivot karakter yang dipancang. Sepanjang film kita akan menyaksikan relasi konflik dengan setiap tokoh yang mengagumkan. Perjalanan tiap tokoh—dengan penajaman—yang ditatah dalam alur campuran sangat mengasyikkan.

Meski drama ini berdurasi hampir tiga jam dan banyak adegan sadis, saya tetap betah nontonnya. Sajian ceritanya kompleks dari berbagai sisi. Coppola, dengan bantuan Puzo, bahkan turut membabar budaya klasik orang-orang di pesisir Italia. Keterukuran latar sosial, waktu, dan budaya membikin penonton mendapat sepotong gambar jernih tentang tema.

Akting para pemainnya juga patut diapresiasi.  Film ini berhasil menyabet segudang penghargaan. Di Academy Awards ke-45 (1973) film ini menyabet penghargaan kategori Best Picture, Best Adapted Screenplay, dan Best Actor.

Fiksi (2008)

Film ini merupakan karya debut dari Mouly Surya sebagai sutradara. Ia menggandeng Joko Anwar sebagai rekan penulisan naskah. Film berdurasi 1 jam 30 menit ini mengangkat genre drama psychology thriller.

Kisahnya berpusat pada kehidupan Alisha (Ladya Cheryl), seorang anak perempuan tunggal yang tumbuh dengan trauma akibat menyaksikan ibunya bunuh diri. Sang ayah juga over-protective, membatasi ruang geraknya. Menugaskan sopir pribadi mengawasi ke mana pun Alisha pergi.

Ia tumbuh jadi sosok gadis yang pemurung dan tertutup. Meski tinggal di sebuah rumah mewah dan bergelimang harta, Alisha merasa kehidupannya datar dan membosankan. Suatu hari, hidup Alisha berubah ketika bertemu Bari (Donny Alamsyah) tukang bersih-bersih kolam renang di rumahnya. Alisha tertarik. Rasa penasaran menuntunnya mengikuti Bari hingga ke sebuah rusun. Tempat di mana Bari dan pacarnya yang bernama Renta (Kinaryosih) tinggal.

Meski cukup minim dialog, film Indonesia yang satu ini menurut saya punya alur menarik dan cenderung plot-twist. Pemilihan rusun sebagai salah satu tempat pengambilan gambar membuat film ini terasa ikonik sekaligus dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Kita disuguhkan betapa destruktifnya trauma lewat tokoh Alisha. Bagi saya, film ini juga terasa surreal karena bisa mengaburkan batas-batas antara fiksi dan realita dengan begitu cerdas. Film ini berhasil meraih empat penghargaan pada FFI 2008 untuk kategori Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Skenario Asli Terbaik, dan Musik Terbaik.

Hanni ‘Mitsurugi’ Prameswari