Scantofia: Equator dan Absurditas Sosiopolitik
Scantofia

Scantofia: Equator dan Absurditas Sosiopolitik

Di mini album terbaru ini ia tidak sekadar menjelajahi lalu menempel temuan-temuan bunyi dari banyak ruang tetapi juga menyelipkan investigasi kecil dari masa lampau.

Di mini album terbaru ini ia tidak sekadar menjelajahi lalu menempel temuan-temuan bunyi dari banyak ruang tetapi juga menyelipkan investigasi kecil dari masa lampau.

Scantofia merilis mini album berjudul “Equator” 30 Januari 2025 ke Bandcamp. Lima track dalam mini album itu mengandung banyak tafsir terhadap keruhnya situasi sosiopolitik hari ini. Tafsir itu ditatah dalam komposisi dengan berbagai elemen, dari sampling sampai bahasa.

Sebelum menyelami mini album ini ada baiknya berkenalan sedikit dengan alam pembuatnya. Scantofia adalah salah satu medium ekspresi Daniel Bagas. Ia sudah merilis “Scantofia” (2017) disusul “Amarah Nyalang Nyala Mega” tahun 2021.

Setiap album dibuat dalam kondisi mental yang berbeda. Akumulasi dari sekian momen dan peristiwa yang ia temukan lalu lintasi. Mengandung setiap perkara, dari yang genap sampai. gasal. Yang normal hingga janggal.

“Album yang tahun 2021 aku buat karena kekacauan batin. Kondisiku sedang ‘aneh’ mungkin dampak dari pandemi. Suka jalan-jalan sendiri, sampai ke tempat yang jauh. ‘Aku ngapain ya kok bisa sampai sini’ begitulah,” katanya saat talk show sekaligus hearing session EP “Equator” di SubStore 10 A beberapa waktu lalu.

Talk show sekaligus hearing session EP Equator di Sub Store 10 A Rabu (29/1/2025) malam

Tidak ada perubahan signifikan dalam membangun mini album terbaru. Daniel masih mengedepankan pengalaman auditif ‘tidak biasa’. Di dalam atau di luar Scantofia, sampai proyek korporat sekalipun, ia membangun komposisi dengan bermacam elemen dari alat atau sampling yang ia seleksi ketat.

Bahkan Daniel memanfaatkan objek apa saja agar mendapat timbre yang ia mau. Pola yang memfokuskan pada eksplorasi bunyi dalam pembangun suara sehingga menghasilkan mood sekaligus sensasi dengar unik.

Equator ‘dicetak’ dengan formula yang kurang lebih sama dengan album sebelumnya. Yang berbeda adalah kondisi dan daya pikir Daniel. Di mini album terbaru ini ia tidak sekadar menjelajahi lalu menempel temuan-temuan bunyi dari banyak ruang—EDM, Jazz, Jungle, Hip Hop, karawitan, Trip Hop—tetapi juga menyelipkan investigasi kecil dari masa lampau.

Stanza Mawar contohnya. Ekstrasi elemen diperkuat puisi yang terinjeksi dari Seno Gumira Ajidarma, Remy Sylado, dan Chairil Anwar itu upaya menyajikan ulang operasi brutal  sebuah satuan khusus di ujung masa Orde Baru (Orba). Yang menculik, membunuh, lalu mengubur fakta sehingga generasi hari ini lupa akan salah satu peristiwa berdarah masa lampau.

Komposisi ini juga mengedepankan sinisme lewat gaya interpretasi Kinanti dari teks yang ditulis Daniel. Tanda, barangkali negara tidak akan pernah meminta maaf pada para ibu dan anak yang kehilangan. Pada mereka yang terus mencari makam kekasihnya yang entah. Sebab, penaklukan selalu mengandung kekerasan dan pelupaan. Bahwa rakyat harus ditaklukkan, bukan diselamatkan.

“Kenapa harus pakai banyak metafor menurutku karena alasan estetika. Saya terpengaruh Remi Silado, Chairil, dan Seno dalam bikin puisi dan musik yang dipicu dari tahun-tahun itu (1997-1998),” sambung Daniel.

Empat track lainnya merefleksikan absurditas sosiopolitik di negara ini. Ia menyerapnya dengan tenang kemudian mengajak pendengar menertawai sekaligus berdansa di atas kejeniusan para badut dan perias politik negeri ini sejak track Ragasukma, Supreme Slompret, hingga Sampai Getir Nyali Ujung Jurang.

Setelah disusun selama kurang lebih delapan bulan, lima track itu ia kirim ke Damar Puspito untuk proses mastering. “Tensi album ini turun sampai track terakhir. Desainnya memang begitu sih dan digital sejauh ini hanya dirilis ke Bandcamp,” pungkasnya.