Tanya Jawab 20 Miles Marathon: Album Baru, Slam Dunk, dan Tur 15 Kota
Foto 20 Miles Marathon

Tanya Jawab 20 Miles Marathon: Album Baru, Slam Dunk, dan Tur 15 Kota

20 Miles Marathon cerita panjang lebar tentang album terbaru sampai artwork yang terinjeksi dari Slam Dunk

20 Miles Marathon cerita panjang lebar tentang album terbaru sampai artwork yang terinjeksi dari Slam Dunk

September 2023. 20 Miles Marathon merilis ‘Gelap Mata’. Mewah. Begitu kesan pertama mendengarkan single anyar sekaligus portal menuju album baru mereka yang rencana rilis 2024 itu.

Kemewahan itu tidak hanya datang dari segi tata suara tetapi juga dari komposisi musik dan tema. Redup Mata mereplikasi banyak konflik horisontal yang dekat sekaligus melekat di sekitar. Tentang nilai-nilai gelap yang membeku sehingga nyaris abadi di tiap zaman. Soal disonansi kognitif. Bahwa cara terbaik menelan semua kandungan itu adalah berlatih kecewa.

2024 bakal jadi tahun yang baik dengan 20 Miles Marathon. Namun, album penuh tak kunjung rilis. Novallio (gitar), Agil (bass, vokal), Mamat (gitar, vokal), dan Ando (drum) malah merilis single pertengahan 2024 berjudul ‘Melepas Pekan Kelam’. Impresi saya tidak berubah.

Setelah mendengarkan berulang, saya menangkap 20 Miles Marathon memasung tema sosial yang jarang dibicarakan. Menyoroti para pekerja dalam lingkungan kerja kapitalisme: terasing dan senantiasa irasional demi keuntungan pemilik modal.

Mereka menyederhanakannya sehingga terkesan ini sekadar lagu penyemangat.

Tema masih diolah sesuai gaya mereka sejak merilis ‘Dusty Window’.  20 Miles Marathon menyilangkan banyak nuansa, dari Shank, Dustbox, sampai musik-musik yang dikategorikan media sebagai Skate Punk.

22 Januari 2025 album yang ditunggu akhirnya diluncurkan. Album penuh mereka dirilis format fisik yang dicetak terbatas di bawah bendera Gimme Gimme dan digital bersama dua kaos dengan dua desain berbeda, topi, serta totebag. Peluncuran album dirilis di Journey Coffee & Records didahului talk show, hearing session lalu ditutup DJ Paws.

Talk Show hanya berlangsung selama 20 menit. Saya memanfaatkannya dengan meluncukan setiap pertanyaan tentang album baru ini yang sudah mendekam di kepala selama satu tahun. Soal musik, album, dan gambar merch yang mengingatkan saya pada anime Slam Dunk dan Sakamoto Days. Berikut ringkasan wawancaranya.

Talk Show with 20 Miles Marathon

Desta Wasesa (DW): Akhirnya rilis juga setelah penantian yang panjang. Bukannya album ini (Cumulare Expansion) sudah selesai waktu kita nongkrong akhir tahun 2023 itu?

20 Miles Marathon (20): Iya sudah jadi semua akhir tahun itu tetapi kami kok masih sayang banget sama album ini. ‘Jangan dikeluarkan cepat-cepat lah nanti dulu’ begitu mikirnya. Yang nanya juga sudah banyak jadi kami keluarkan single Melepas Pekan Kelam lebih dahulu sambil menunggu momen apa ya ini momen apa ya itu. Setelah dipikir matang-matang baru deh Januari ini dirilis.

Kenapa pula dalam format kaset??

Sebenarnya kami juga merilisnya dalam format digital kok. Buat kami, kenapa ada fisiknya juga karena mendengarkan musik lewat pemutar analog itu beratus kali lebih asyik. Suaranya dapet, elemen suara bisa terdengar dengan jelas dan tajam, nggak dikompres seperti di digital.

Aku rasa juga cukup tepat karena tata suara dalam album ini menurutku mewah dan sayang sekali bila tersaring begitu saja. Apalagi rekaman sampai mixing mastering saja setara dengan satu motor Vario dan Mio hahahaha.

Hahahaha bukan soal berapanya sih karena yang lebih penting adalah kepuasan personal. Apalagi album ini adalah akumulasi perjalanan 20 Miles Marathon yang meluas dan mengejutkan, baik secara kolektif atau individu. Inilah yang membuat kami memilih Cumulare Expansion sebagai judul album.

Ini bukan soal kami saja tetapi tentang semua orang yang nggak pernah jatuh setelah dipukul atau luka berkali-kali. Kami ingin merayakannya dengan cara terbaik yang kami punya. Tema-tema dalam lagu ini bisa dibilang menyemangati satu sama lain.

Soal ekspansi selama bertahun-bertahun itu apakah turut mempengaruhi soal Hybrid Punk yang kalian usung? Apa yang kalian ambil dari perluasan itu? Apakah elemen? transisi akor? Atau ada hal lain?

Jadi album ini sebenarnya bukan cuma Punk. Hybrid itu kami menyilangkan dengan banyak kebiasaan teknikal dalam genre lain. Ada jazz, metal, pop, bahkan dari instrumen tradisional. Bahkan kami mencoba bunyi dari luar instrumen seperti suara dari plastik kresek untuk memperkaya perkusi.

Soal wacana itu sendiri kami buka di lagu pertama, Senandung Duka. Kami berkolaborasi dengan Marcella Dee, yang mengisi part bernyanyi layaknya seorang sinden dalam sebuah repertoar gendhing karawitan. Kolaborasi lainnya dengan Maya Nilam, solois yang akrab dengan musik-musik yang agak ‘gelap’.

Marcela Dee ketika cerita soal lagu kolaborasi

Soal sinden dan karawitan termasuk gamelan, apakah sulit mengonversi oktaf dari notasi pentatonis ke nada diatonis? Soalnya musik tradisional dalam hal ini gamelan kan belum ada konsensusnya. Lantas bagaimana kalian menyusun repertoarnya dengan banyak persilanan itu? Apakah memerhatikan transisi per lagu atau sekadar taruh saja?

Nah ini yang ajaib. 14 lagu dalam album ini direkam sesuai urutan. Memang kami sudah mengatur konsepnya seperti ini (urutan lagu) ketika rekaman. Transisinya memang diatur sedemikian rupa, memerhatikan mood. Mau tidak mau kami harus memperhatikan itu karena dirilis dalam format fisik. Soal konversi entah kenapa kami dimudahkan begitu pula dengan Marcela. Jadi begitu saja, nggak ruwet.

Marcela dan Maya juga hadir dalam perilisan. Saya juga menodong mic ke mereka.

Marcela Dee: Buatku kolaborasi ini sangat menantang. Saat proses rekaman sangat mudah dan cepat tetapi jujur aku degdegan juga, penasaran dengan hasilnya. Aku nggak dengerin preview atau apa, baru malam ini aku mau dengerin. Intinya menyenangkan dan mudah.

Maya Nilam: Saya sudah kenal lama dengan 20 Miles Marathon sehingga nggak sulit-sulit amat malah cenderung mudah. Aku juga mudah keluar dari kebiasaanku selama ini saat menyanyi, jadi sekaligus menantang gitu. Mereka bikin aku keluar dari zona nyaman.

20 Miles Marathon bersama sebagian teman-teman yang datang dalam perilisan

Soal album sepertinya cukup deh yah. Biar pendengar yang leluasa menginterpretasikan 14 lagu dalam album ini. Yang aku tangkap teman-teman sudah merasakan kepuasan.

Betul. Kami sangat puas karena mengerjakan album ini dengan sepenuh hati. Jujur, dengan kata lain ya apa yang kami rasakan, punya, lalui, dalam setiap badai dan terik kami tumpahkan dalam album ini. Akan menjadi apa itu persoalan lain sebenarnya. Semoga bisa beresonansi dengan pendengar.

Di luar musik, 20 Miles Marathon menurutku band yang cukup nekat dalam merilis merch. Salah satunya sepatu dan laku keras. Tema desain juga menarik tetapi kali ini berbeda. Kalian merilis dua merch kaos dengan gambar berbeda, yang satu sampul album sedangkan satu lagi gambar anime personel.

Untuk yang sampul album bergambar dua kartu domino itu menandakan jumlah lagu dalam album ini beserta simbol-simbol dengan pemaknaan masing-masing.

Kalian penggemar iluminati?

Hahahaha nggak, memang gambar sampul itu buat kami benar-benar mewakili album dan cerita kami selama ini. Untuk merch lain, kaos bergambar personel itu Mamat yang bikin (kemudian mic dioper ke Mamat). Aku suka dengan karakter-karakter anime yang seperti itu, seperti Takehiko Inoe mangaka Slam Dunk, Shonen 90an lah. Sekarang mungkin ada di Sakamoto Day.

So what’s next?

Setelah rilis kami mau weekend tour. Kira-kira 15 kota, setiap minggu dan diakhiri di Jogja entah Juli atau Juni nanti lalu bikin konser album. Semoga saja keturutan (terjadi).