Bumi berputar panas membakar. Waktu berganti tak sama lagi. Perubahan pasti terjadi, telanjang, dan tak pernah diam-diam. Sebab, zaman tak lagi bergerak secara rahasia. Ia membuka semua pintu yang tertutup lalu membimbing setiap anak-anaknya untuk berani memilih.
Umar Haen memasuki pintu itu. Bergerak melintasi kemungkinan-kemungkinan. Kita barangkali tidak akan melihat kesederhanaan Umar yang terpasang kuat di awal-awal karier, terutama di album Gumam Sepertiga Malam.
Masa-masa di mana Umar dan Arok (nama perkusinya) yang tampil apa adanya. Dengan gitar dan celana jahitan orangtua. Lewat musik sederhana yang bermula dari kesepian dan hal kecil di sekitar, dari aroma tubuh yang melekat di pakaian sampai arak di lingkar perkawanan.
Umar memasuki banyak pintu. Datang lalu pergi lagi. Barangkali tengah menyisir banyak dimensi, menjelajahi tiap ruang, mereka-reka sisi yang harus lebih ditampilkan. Single ‘Ibu, Ku Takut Jakarta’ adalah satu dari sekian hasil penjelajahan Umar Haen.
Lagu itu sudah ia bawakan berulang kali di atas panggung seperti pertunjukan di Sleman Creative Space (SCS) dan dalam album Live at Buku Akik tahun 2022. Ia datang dengan konsep band yang menakar lalu menginjeksikan soul dalam corak vokalnya.
Konsep musik yang membikinnya terlihat lebih maskulin dan sedikit nakal sekalipun gaya penulisan lirik dan muatannya tidak mengalami perubahan signifikan. Narasi yang lebih efektif bila dibawakan secara sederhana, berdua saja dengan Arok. Namun, sekali lagi, Umar yang sekarang adalah Umar yang menjelajahi banyak kemungkinan.
Sekalipun menawarkan imej baru, Umar tidak serta merta meninggalkan gardu pandangnya.‘Ibu, Ku Takut Jakarta’ dilihat dari tempat dan sudut pandang seorang anak desa. Menceritakan kisah-kisah menakutkan soal Jakarta. Kabar dari burung-burung yang tak lagi punya udara di langit Jakarta.