Tiupandawai, begitu Noval Fitra, Galuh Ihsan, dan Walderahmat menamai kelompok mereka. Dua komposisi dirilis. Pertama, ‘Inersia 1.1’ kemudian ‘Inersia I.2’ yang terispirasi dari hukum gerak Newton.
‘Inersia 1.1’ lembut dan sederhana. Mengedepankan harmoni dalam komposisi musik yang digerakkan dari suara suling Sunda dan Bali. Lekuknya ditatah di atas pola—yang tampak—sederhana, dari suara gamelan, gitar, dan perkusi. Transisi menuju klimaks pun cukup halus.
Sekuel kedua, sedikit lebih ketat dan dinamis. Mereka menyusunnya dengan formula yang nyaris serupa. Eklektik. Laiknya Lolomis yang memberikan sentuhan pada musik tradisional Eropa Timur, Sephardic Spanyol, hingga lagu rakyat ala Varttina Finlandia.
Buat saya musik instrumental punya banyak daya pikat. Satu di antara sekian hal yang memikat itu adalah musik instrumental memberi kebebasan pendengar membangun proyeksi dari penerimaan bunyi. Pun Tiupandawai lewat komposisi mereka. Namun, mereka sepertinya tidak mempersoalkan salah satu daya pikat itu.
Apakah bunyi yang mereka sajikan akan mendatangkan proyeksi atau tidak sama sekali, tidak jadi soal. Sebab, laiknya—teori— inersia yang selalu mempertahankan bentuknya sendiri, pun dua komposisi ini. Begitu, barangkali.
Leave a Reply