Kirom: Syahdu Merindu
Foto Rey Diawan

Kirom: Syahdu Merindu

Kirom mendorong City Pop ke area yang lebih ‘setempat’ tanpa terjebak rumus estetika tak tertulis.

Kirom mendorong City Pop ke area yang lebih ‘setempat’ tanpa terjebak rumus estetika tak tertulis.

Vaporwave. Begitu kesan pertama saya saat menerima aspek visual yang Rijal Pamungkas aka Kirom kirimkan ke surel siksamantan. Gerakan yang muncul satu dekade sebelum pandemi itu mengedepankan visual bernuansa retro dengan elemen-elemen kultur pop 80-an berlatar merah jambu atau ungu. Visual Kirom pun demikian.

Saya juga mengira pendatang baru asal Jogja ini bakal menyajikan future funk atau elektronik macam Timecop1983. Namun, ketika single ke-2 Kirom itu diputar di Youtube Music, kenyataan sedikit bergeser.

‘Syahdu Merindu’ merupakan lagu bernuansa retro yang populer dengan sebutan City Pop. Sama halnya seperti Hiroshi Sato atau sang dedengkot musik kosmopolit macam Tatsuro Yamashita, Kirom juga menggunakan formula yang mereka ramu. Menggabungkan soft rock, AOR, funk, fushion, jazz, diperdalam synth inovatif dalam paduan suara elektronik dan akustik dengan tata suara yang empuk.

Ada dua perkara yang menarik dalam ‘Syahdu Merindu’. Pertama, penggunaan bahasa Jawa dalam liriknya. Sebenarnya bukan hal baru. Namun, keputusan itu menambah fakta bahwa peneterasi bahasa Jawa—ketika tiap kata dan bunyi disusun secara cermat—terhadap musik modern selalu dalam sekaligus memuaskan. Jahanam sudah membuktikannya berulang kali.

Kedua, Kirom mengesampingkan estetika atau formula tak tertulis dalam genre City Pop—khususnya yang besar di Jepang—yaitu Natsukashii: perasaan atau sensasi nostalgia yang belum pernah dialami sebelumnya tetapi dapat dirasakan dari aransemen dan nada-nada vokal. Ia tidak terjebak dalam estetika semacam itu.

Pun dengan penataan suara (by Riski Farid aka Black JB Blues) yang tidak menggunakan ‘reputasi’ pengeras suara stereo mobil seperti para pendahulu agar terkesan klasik—dalam konteks City Pop tentu saja. Sehingga, ketika mendengarkan lagu bertema cinta yang menceritakan kerinduan pada seseorang ini pendengar akan dibawa pada satu pemahaman. Bahwa rindu dan kesepian tak melulu lekat dengan air mata, gigil, atau balada yang memeras empati.