Saya menonton gigs Morning Horny untuk kesekian kali di sebuah cafe bilangan Nologaten awal tahun 2024. Seperti biasa, di mana dan kapan pun, komplotan Punk Rock ini selalu mampu menjalarkan energi ke area gigs. Semua loncat-loncat kegirangan. Bikin koor di hampir tiap lagu yang mereka bawakan.
Di tengah gigs, Danu (vokal) menghentikan alur. Ia meminjam topi seorang kawan lalu mengajak semua penonton bantingan. Beli minum, biar seger, memampas setiap penghalang di tenggorokan agar suara penonton makin keras. Makin dekat ke galaksi.
“Usia kok jadi alasan untuk tidak bersenang-senang. Usia kok jadi alasan buat nggak ikut loncat-loncat,” katanya disambut tepuk dan pisuhan hangat kawan-kawan di depan panggung tak berbatas.
Gigs dilanjutkan. Banyak tubuh setengah melayang, ditopang tangan-tangan bersahabat yang diakhiri rangkulan hangat di akhir gigs.
Danu, Adi, Marko, Henry, dan Surya bisa dibilang sudah tidak muda lagi. Laku dan perilaku mereka tidak seperti 20 tahun lalu. Namun, Morning Horny selalu punya cara mempertahankan kontinyuitas masa muda. Ucapan Danu dan kawan-kawan di atas panggung itu terus dibuktikan, salah satunya dengan merilis “A Wish On Christmas Day” baru-baru ini.
Premis dalam lagu itu tebal. Usia, bagi mereka, bukan alasan menumpas mimpi dan fantasi. Sebab fantasi dan mimpi adalah faktor penting agar pandangan tetap muda sekalipun mereka harus berjibaku dengan nilai-nilai sosial menuju paruh baya. Satu kondisi mental yang menopang eksekusi teknis—dalam konteks pemilihan sound, aransemen, dan attitude vokal—sehingga “A Wish On Christmas Day” (masih) terdengar Teenage Rebel Rawx.
Leave a Reply