Japa Mantra: Menyihir di Waktu yang (Semoga) Tepat
Foto by Moh Noari

Japa Mantra: Menyihir di Waktu yang (Semoga) Tepat

Japa Mantra menangkup Rock Indonesia 70an yang penuh petualangan, coba-coba.

Japa Mantra menangkup Rock Indonesia 70an yang penuh petualangan, coba-coba.

Bagaimana jadinya bila para musisi yang kerap mengunyah asam garam skena sampai industri musik—plus sering bekerja sama dalam banyak proyek di dalam dan luar studio—yang cukup gila bereksperimen di area teknis serta punya kesamaan selera membuat band, terjawab melalui Japa Mantra.

Sebuah band progresif dan konseptual, dalam konteks musik—dari tema lagu, aransemen, hingga tata suara—menangkup Rock Indonesia 70an yang penuh petualangan, coba-coba, dan banyak eksperimen lain tanpa harus tampil dengan eksentrik dan menarik di depan publik. Ra kaekan nggaya, ra kaekan cangkem!

Segala elemen itu memadat di ‘Gelap Benderang’ dan ‘Manusia Pura-Pura’ yang rilis baru-baru ini. Dan dari segala hal yang mendobrak telinga dalam dua lagu itu, Lukman Marjabinie (vokal) mengeluarkan separuh berkah yang ia terima dalam pita suara. Buat saya, selarasnya karakter vokal Lukman dengan tema dan aransemen dalam dua single mengandung pernyataan padat, bahwa ia patut diperhitungkan sebagai salah satu vokalis Rock terbaik di Indonesia saat ini. Catat!

Komplotan ini sepertinya datang di waktu yang tepat. Waktu di mana Garage, Fuzz, Easycore, dan persilangannya kembali menggeliat di Asia. Attractions terus menarik perhatian di Jepang. Pun Falcettos dengan pace Garage mereka yang lambat. Sementara Korea Selatan juga sedang heboh Memi. Di Surabaya, dengar-dengar Log Zhelebour mulai menyelinap ke banyak ruang dan komunitas.

Japa Mantra memang diisi orang-orang lawas yang akrab dalam kerja-kerja musik, baik dalam kolektif atau industri. Sebut Lukman Marjabanie, vokalis yang satu dekade lagu membawa Afapika disebut-sebut sebagai salah satu kolektif musik psychedelic terasyik di Yogyakarta. Sempat menghilang dari dunia musik, beberapa tahun lalu Lukman menyalakan kembali tombol produktifnya lewat proyek solo dan kini mulai menemukan jawab untuk berkah yang mulai ia sadari bersama Japa Mantra.

Duo gitar diisi Gigih Prayogo dan Aditya Danuja. Gigih seorang gitaris dengan daya jelajah luas di skena setempat. Ia mengeluarkan ke-Wibu-an dalam Julia, semangat guitar hero bersama Koen and The Guitar Band, Pop Rock di tengah lagu-lagu Taksu dan Heroic Karaoke. Death Pop dengan Akadama & The Yoyo Connection.  Gigih bahkan menjelajahi audio game dalam beberapa tahun terakhir.

Aditya Danuja lahir di tengah kultur Garage dan Heavy Fuzz yang nyaris hangus. Ia front man duo Dynamite Rock bernama Electric Dynamite Flux (EDF) dan Kombak Kambek yang mengusung Hardcore. Aditya Danu juga dikenal sebagai penata suara dalam bendera Sonletarian. Sementara itu Bintang, pemain bass Japamantra, pernah menggantikan posisi Doni Alldint di Risky Summerbee & The Honeythief.

Terakhir, Yuda Hasfari Sagala. Musisi, produser, sekaligus sound engineer yang tahu betul gelagat, geliat, sampai karakter kerja-kerja kolektif dan industri musik di Indonesia. Ia tidak hanya dikenal sebagai penggebuk drum Metallic Ass, SPAD, Heroic Karaoke, dan Risky Summerbee & The Honeythief tetapi sosok di balik layar kesuksesan banyak band segala genre, segala era. Exhumation contohnya.

Japamantra memperdengarkan dua lagu itu untuk pertama kalinya di kolektif Dengerin Bareng-bareng. Mereka cerita panjang lebar tentang proses dan produksi musik, termasuk tema lagu yang menyenggol perilaku politik para elit dan buzzerRp media sosial. Dengarkan podcast mereka bersama Debarbar di SINI!