Skandal: “Melodi”, Album yang Lebih Terukur, Lebih Akur
Foto Alex Deberil

Skandal: “Melodi”, Album yang Lebih Terukur, Lebih Akur

Sepertinya mereka tidak lagi berupaya menjadi remaja tengik sekaligus degil yang kencanduan topi truk, MTV, lalu terus merayapi tren 2000an

Sepertinya mereka tidak lagi berupaya menjadi remaja tengik sekaligus degil yang kencanduan topi truk, MTV, lalu terus merayapi tren 2000an

Album penuh pertama Skandal, “Melodi” yang rilis bulan Oktober 2024 lalu menumpas banyak hal. Album penuh itu mengakhiri kemonotonan strategi band asal Jogja itu dalam memancang eksistensi di dunia musik tanpa wasit ini. Delapan tahun terakhir, Skandal bertahan—sesekali ‘menyerang’-macam Catenaccio Karl Rappan, merilis single-single dan mini album  di tengah cepatnya perubahan perilaku dengar penikmat musik.

“Sudah terlalu lama band ini nggak punya album padahal kami punya banyak materi,” kata Yoga Prasiddhamukti, vokalis sekaligus penabuh tamborin Skandal, melansir rilisan pers yang ditulis Pramedya Nataprawira.

“Melodi” tidak hanya mengakhiri kebosanan itu. Skandal bergerak, pelan-pelan keluar dari konformitas dan penangkapan sederhana dari pertunjukan langsung. Dengan kata lain, mengubah etika produksi ke Do It Wit Others sehingga lebih eksploratif dalam tata suara dengan kecenderungan musik pop yang kuat.

12 lagu dalam “Melodi” adalah replikasi perjalanan tiap personel. Duplikasi yang nyaris serupa dengan respon, perilaku, dan pemaknaan tiap personel dalam menghadapi realita. Sidha menekankan bahwa waktu tampaknya mendatangkan pemahaman pada tiap personel untuk menerima setiap pasang surut kehidupan dengan rendah hati.

“Makin ke sini, kami sadar bahwa semua hal dalam hidup jalannya beriringan, tidak bisa selamanya senang, tidak bisa selamanya sedih, dan sebagainya. Mengalami pengalaman, mengamati keadaan, kadang dengan banyak pertanyaan; mixed feelings tentang rasa syukur dan lega berada di saat ini, kerinduan akan masa lalu, dan kecemasan soal masa depan,” sambung Siddha.

Muncul dugaan kuat usai membaca pernyataan itu. Skandal berubah. Sepertinya mereka tidak lagi berupaya menjadi remaja tengik sekaligus degil yang kencanduan topi truk, MTV, lalu terus merayapi tren 2000an—sekali pun saya setuju satu juta persen bahwa budaya pop 2000an dengan segala kecerian dan kebahagiaan tak akan tergantikan.

Mereka menerima semua lalu menjalarkan tiap luka hingga duka dalam media rekam tanpa menyakralkan nostalgia. Tanpa menghapus jejak. Keceriaan masa muda itu masih ada tetapi lebih terukur. Lebih akur.