Saat melihat tiga artwork dari tiga lagu Lealona: ‘Masa’, ‘Mustikaning Laku’, ‘3 Dasawarsa’, ditambah sampul dan sampul rilisan pers yang didominasi warna merah dan hitam, impresi yang muncul adalah duo yang mengadopsi gaya Bristol lalu memainkan musik-musik muram. Kata ’muram’ di sana merujuk pada Dark Pop yang memeras sari dari BANKS, Grimes, Ashnikko, Bludnymph, Sevdaliza, bahkan Astrid.
Impresi itu tidak seratus persen salah. Lealona, mereplikasi setiap perubahan—dari pikir hingga laku—hidup yang sering dikeluhkan orang-orang yang mendekati usia 30an. Tidak sepenuhnya berlirik muram, ada pula narasi yang menyemangati seperti dalam ‘Masa’—yang bicara tentang pemamah kehidupan bernama waktu —atau lewat aransemen saat mereka mengubah mood di pertengahan ‘Mustikaning Laku’.
Tiga lagu Lealona menggabungkan elemen-elemen dari musik pop, alternatif, dan elektronik berbagai era. Di area Pop—dengan penuh kesadaran atau tanpa sengaja—ada perasan Dodo Zakaria, Utha Likumahuwa dalam ‘3 Dasawarsa’. Lalu di area elektronik dan pergeseran mood yang lembut dalam ‘Mustikaning Laku’, atmosferik Timescop1983 dan beat Crystal Method hadir. Pun R&B Reza Artamevia era album “Keajaiban”.
Dalam konteks kekinian, apa yang mereka sajikan memberi penyegaran pada linimasa musik Indonesia. Memperbanyak alternatif di tengah bingar Hip Hop dan Indie Rock. Pada konteks, skena setempat, Lealona—buat saya—berupaya memberi tahu bahwa predikat-predikat lawas dunia musik yang dilekatkan pada Surabaya sudah usang,
Dengan aransemen yang berpondasi pada synth dan bass yang kuat serta silang sekaligus suara yang lembut Lealona kembali menghadirkan musik-musik 80 hingga 90an yang mendapati sensasi terbaik ketika didengarkan tengah malam, saat memutari kota yang mulai sunyi atau waktu di mana tubuh meriut usai tergopoh mengejar waktu.
Leave a Reply