“Jogja Incognita”. Begitu Nano Warsono, seniman asal Yogyakarta bersama Vherkudara Spirit memberi tajuk pameran yang digelar di galeri sekaligus gerai kacamata Vherkudara, Sleman. Tajuk itu terinspirasi dari bahasa latin dalam dunia kartografi untuk menandai daerah atau wilayah yang belum dipetakan atau didokumentasikan.
Pameran yang berlangsung hingga Desember 2024 itu adalah refleksi sekaligus memori kolektif Nano selama 25 tahun tumbuh di Yogyakarta. “Jogja Incognita” menjadi refleksi mendalam dan kritis terhadap Yogyakarta, tanah asing yang didatangi Nano akhir 90an.
“Jadi merujuk ke pengalaman ketika pertama kali datang ke Yogya, saya dari Jepara. Saya tidak modal dan pengetahuan apa-apa sehingga beranggapan Yogya itu Terra Incognita, tanah tidak dikenal,” kata Nano ketika ditemui ketika pembukaan pameran Selasa (3/9/2024) malam di Vherkudara.
Datang tanpa informasi apa-apa tentang Yogyakarta membuat Nano berupaya mengenalinya lewat seni yang digali dari banyak ruang, mulai kampus, warga, sampai kawan perupa yang lebih dulu memancang nasib di kota ini. Tiap gambar yang dipamerkan menangkup perilaku dan pengalaman dalam mengenali Yogyakarta sehingga “Jogja Incognita” menjadi monumen memori kolektifnya.
“Modal awal saya ke Yogyakarta hanya kertas dan tinta. Gambar apa saja. Dari sana karya-karya ini hitam-putih, sederhana saja. Tiap gambar adalah proses saya mengenali Yogya,” sambung Nano.

Nano membagi memorinya lewat gambar-gambar yang merespon band-band alternatif hingga metal pertengahan 90an sampai awal 2000an. Gambar-gambar itu ia buat saat masih kuliah, terinspirasi dari artwork sampul kaset. Lalu, mural, berisi gambar-gambar yang memuat pandangannya terhadap dinamika Yogyakarta. Atas waktu yang terus bergerak, melindas, lantas membuka babak demi babak yang terus melahirkan pemahamanan baru.
Tumpukan ranting kayu dengan mata mengintip mengutip sejarah ikhwal Yogyakarta. Lalu gambar badut, seperti sindiran bahwa cepatnya waktu memaksa setiap orang berakrobat demi bertahan hidup. Karya tiga dimensi bermakna luas, barangkali merujuk pada identitas atau entitas visual yang kini kerap disalah pahami.
“Semakin ke sini Yogyakarta mulai berubah. Apa yang kita lihat belum tentu sama. Orang-orang berubah. Tidak terlepas dari budaya-budaya yang memengaruhinya sehingga untuk memahami Yogya itu 100 persen saya belum bisa. Layernya banyak, dinamis Yogya itu dan kita harus intens di dalamnya,” kata Nano.
Ada pernyataan lain yang tertangkap dalam “Jogja Incognita”. Bahwa seni adalah peneterasi paling lembut sekaligus mampu beradaptasi di tempat manapun, bahkan di gerai kacamata. Antino Restu, Bisnis and Product Development Vherkudara Eyewear, membenarkan salah satu persepsi itu.
Ia menjelaskan bahwa Vherkudara tidak ingin menjadi tempat yang tidak hanya menjual produk, tetapi juga menjadi tempat yang dapat mempertemukan seniman dan masyarakat. Sejauh ini Vherkudara juga telah berkolaborasi dengan beberapa seniman dan musisi, termasuk Custom Works Zon milik Yuichi Yoshizawa, builder motor kustom asal Jepang dan perupa Atasiashii.
“Kami ingin menjadi tempat yang dapat mempertemukan seniman dan masyarakat, dan memberikan kesempatan bagi seniman-seniman muda yang memiliki identitas seperti halnya jenama Vherkudara,” kata Antino, sosok perupa muda sekaligus gitaris Marsmolys itu
Leave a Reply