Pertama, pertunjukan selama 60 menit di depan ratusan anak-anak muda itu adalah jawab dari segala tanya, duga, dan tuduhan yang dialamatkan sejak album “Vertycalysm” mengudara.
Bahwa Marsmolys adalah komponen padat yang sulit dicairkan. Bahwa band yang telah merilis satu mini album dan satu album penuh itu takut menjelajahi banyak kemungkinan dan ketidakpastian. ‘The Progeny of Holy Moly’ menumpas semua duga dan tuduhan itu sampai ke akarnya.
Antino Restu (vokal, gitar), Yoga Bhakti (gitar, synth), Ferdi Listant (Bass), dan Fahrenno mencairkan bentuk lalu menatahnya ke banyak medium. Ke dalam tata cahaya dan visual. Lewat banyak kolaborator: Antonius Yoga Nugraha, Adinda Imelda, dan Khansa yang cermat dan seksama ketika membangun vokal terpadu.

Komplotan satu tongkrongan itu bahkan membebaskan Bimo Setyo Raharjo melapisi seraknya suara gitar Yoga dan Timo lewat banyak fitur suara keyboard sehingga memicu sensasi lantas selaras dengan visual di atas panggung. Pun bersama seniman asal Yokohama: Atasiaishii ketika memperdengarkan ‘Kala’. Atasiaishii bahkan turut membawa serta latar antropologinya ke atas panggung.
Tak ada lagi kekakuan. Tak ada lagi tembok pembantas. Seni instalasi yang mengapit mereka selama pertunjukkan menempuhi riwayat sendiri. Kedua instalasi itu seperti hidup, menyala-nyala, bukti betapa teratur dan tepat gunanya tata cahaya.
Kolaborasi yang memaparkan hasil penjelajahan musik dari banyak ruang, dari yang yang konkrit hingga yang ‘abstrak’ lalu diperkuat tampilan yang kompleks. Pesan bahwa Marsmolys adaptif sekaligus punya progres yang tak main-main dalam membangun musikalitasnya.
“Kenapa ‘The Progeny of Holy Moly’ karena buat kami inilah kelahiran yang kedua. Kebangkitan. Kami yang baru adalah kami yang kawan-kawan saksikan di Art Jog kemarin,” kata Antino Restu.

Kedua, dalam pertunjukan itu Marsmolys menolak lupa dan leka atas apa yang terjadi di sekitar. Mereka mengajak Akadama, moniker panggung Desta Wasesa membaca sajak untuk aksi Kamisan 827 yang di saat bersamaan berlangsung di Jakarta. Akadama dan Marsmolys mengajak penonton untuk tidak lupa tentang sekian peristiwa yang masih meninggalkan luka di Indonesia.
“Kami ingin mempersembahkan sajak dalam lagu itu untuk kita semua. Untuk Bu Sumarsih dan Fajar Merah. Untuk kawan-kawan Aksi Kamisan dan setiap orang yang tidak bisa dibeli,” kata Akadama.
‘The Progeny of Holy Moly’ bakal terus diingat, setidaknya untuk Marsmolys sendiri dalam beberapa tahun ke depan. Bahwa kelahiran kedua mereka disambut hangat. Dalam dekap kawan-kawan dekat. Dalam pekik yang gelombangnya terus merambat.
Leave a Reply